Mohon tunggu...
Putri Arisandi
Putri Arisandi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Assalamualaikum wr.wb Selamat membaca 😊🤗

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pentingnya UU TPKS terhadap Diskriminasi Gender dan Tuntutan Terhadap Perempuan

17 April 2022   02:26 Diperbarui: 17 April 2022   04:45 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini pemahaman yang kurang banyak dipengaruhi oleh konstruksi masyarakat yang menganut sistem gender biner, memarginalkan ruang gerak perempuan dalam publik. Hingga masyarakat membagi gender untuk menentukan apa yang dianggap sebagai keharusan untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Relasi gender antara perempuan dengan laki-laki dikatakan sudah baik atau setara apabila tidak ada lagi ketidakadilan gender yang terjadi, yakni (1) subordinasi: melihat posisi yang lain lebih rendah. (2) Marjinalisasi: peminggiran peran ekonomi perempuan dengan asumsi bahwa perempuan adalah pencari nafkah tambahan serta peminggiran peran politik perempuan dengan asumsi bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin yang mengakibatkan pemiskinan terhadap kaum perempuan. (3) Beban ganda: masuknya perempuan di sektor publik tidak diikuti dengan berkurangnya beban mereka di dalam rumah tangga. (4) Kekerasan: baik fisik maupun verbal. (5) Pelabelan (stereotip): pemberian label sehingga menimbulkan anggapan yang salah.

Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Sebagaimana halnya ras, etnik, dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi. Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender dalam bentuk kesenjangan dan perbedaan dalam tingkatan yang berbeda-beda.

Diskriminasi terhadap perempuan masih kerap terjadi di Indonesia. Perempuan masih terbatas aksesnya pada layanan dan perlindungan sosial serta rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi. Ada lima bentuk ketidaksetaraan gender yang terjadi. Yakni, stereotip terhadap perempuan, beban ganda, marginalisasi ekonomi akibat konstruksi gender, subordinasi yang menganggap perempuan berkedudukan lebih rendah dibandingkan laki-laki, serta kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat. Definisi kekerasan seksual mencakup kejadian dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.

Faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksetaraan gender khususnya dibidang pendidikan yang terjadi di kalangan masyarakat kita saat ini merupakan sebuah rahasia umum. Hal ini tidak dipungkiri lagi bahwa pemahaman dan pemikiran di atas masih mewabah terutama di kalangan masyarakat ortodoks yang masih sangat menjunjung tinggi budaya-budaya yang mendekati kepercayaan leluhur lama. Masyarakat yang masih menganut paham patriarki, di mana kaum perempuan adalah kaum yang lemah yang harus manut dan turut apa kata suami. Kaum perempuan tempatnya adalah dirumah serta tidak memerlukan pendidikan yang tinggi demi kelangsungan hidup berumah tangga. Kebudayaan dan kepercayaan tentang anak perempuan yang harus mengalah dibandingkan anak laki-laki masih tertanam kuat di pemahaman masyarakat kita bahwa ketimpangan gender disebabkan oleh adanya konstruksi sosial dan budaya. Di tengah modernisasi yang semakin kuat, masyarakat kita masih saja memegang teguh mitos-mitos lama yang menyatakan kekuatan pria dan kelemahan wanita. Bahwa pekerjaan wanita tidak sepatutnya dikerjakan oleh pria, begitu juga sebaliknya. Paham-paham lama yang seperti inilah yang membuat ketidaksetaraan gender semakin mengakar kuat di lingkungan masyarakat kita. Pemahaman patriarki yang tertanam di kalangan masyarakat kita bahwa wanita hanya bisa mengurus rumah saja menyebabkan keengganan bagi kaum perempuan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Bahkan pernikahan dan masalah biaya menjadi sebuah alasan untuk meninggalkan bangku sekolah. Hal ini banyak banyak terjadi di daerah pedesaan dan tempat-tempat terpencil. Sayangnya kesenjangan yang ada membuat dampak yang buruk bagi perkembangan bangsa dan negara. Rendahnya pendidikan kaum perempuan menjadikan mereka merasa tidak mampu untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, serta demi meningkatkan taraf kehidupan mereka. Yang terburuk adalah, adanya ketidaksetaraan gender berarti lemahnya sebuah pemerintahan negara.

Seringkali dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan ini. Suasana ketidakadilan ini terkadang bisa berubah secara drastis karena kebijakan dan perubahan sosial-ekonomi. Salah satu cara untuk menjamin keadilan antara perempuan dan laki-laki, yakni dengan menggunakan pendekatan Pengarus utamaan Gender, yakni segala perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi harus memperhatikan kebutuhan khusus, pengalaman dan aspirasi perempuan dan laki-laki. Maksudnya adalah kita harus memahami bahwa perempuan dan laki-laki tentunya memiliki akses dan kebutuhan yang berbeda terhadap segala hal. Oleh karena itu memang kita harus peka untuk melakukan intervensi-intervensi khusus (sebagai solusi praktis jangka pendek) guna mengatasi hal-hal yang menjadi halangan salah satu pihak untuk berpartisipasi dalam pembangunan secara maksimal.

Oleh sebab itu sangat dibutuhkannya UU TPKS untuk melindungi kesejahteraan perempuan, agar perempuan merasa aman dan laki-laki tidak semena mena memperlakukan perempuan. Sembilan tindak pidana kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS yakni pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, serta kekerasan seksual berbasis elektronik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun