Mohon tunggu...
Esa Asmi Putri
Esa Asmi Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Universitas Jember

Mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merkantilisme dalam Ekonomi Politik

7 Maret 2024   12:00 Diperbarui: 7 Maret 2024   15:33 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi semua negara di dunia, ekonomi dan politik membentuk dua unsur kunci yang saling terkait erat. Keterkaitan ini menjadi landasan utama dalam konteks ekonomi politik internasional. Semakin eratnya dua unsur tersebut muncul beberapa konsep, dalam mempelajari ekonomi politik internasional, salah satunya adalah merkantilisme (mercantilism)

Merkantilisme merupakan salah satu konsep klasik yang mencirikan periode awal ekonomi politik. Merkantilisme mulai berkembang pada abad ke-16 hingga abad ke-18. Merkantilisme banyak digunakan oleh negara-negara Eropa seperti prancis, Spanyol, Inggris, Italia, Portugal, dan juga Jerman. Aktor yang berkuasa dalam konteks merkantilisme adalah negara.

Istilah merkantilisme berasal dari kata merchant yang berarti perdagangan. Dalam pandangan merkantilisme, setiap negara yang ingin maju harus terlibat dalam perdagangan dengan negara lain dan bagi penganut merkantilisme sumber utama kekayaan negara berasal dari kegiatan perdagangan internasional (Aslan & Suprayitno, 2021, 10). Merkantilisme menandai awal mula pemahaman bahwa perdagangan internasional dapat menjadi alat untuk memperkaya suatu negara. Merkantilisme menganggap bahwa kekayaan suatu negara dapat diukur dari jumlah logam mulia, terutama emas dan perak yang dimilikinya. pencapaian kekayaan nasional dapat dicapai dengan cara mengumpulkan sebanyak mungkin logam mulia melalui kegiatan perdagangan internasional.

Selain itu, dalam merkantilisme juga dikenal istilah "Mother Country" atau "Motherland". Istilah ini merujuk pada negara asal yang memegang peranan utama dalam sistem ekonomi merkantilis. Dalam kerangka ini, Mother Country mengacu pada negara yang menjalankan dan mengontrol koloni atau wilayah terluar dengan tujuan untuk mengakumulasi kekayaan dan sumber daya. Mother Country berperan sebagai pusat kebijakan ekonomi dan politik yang mengatur dan mengendalikan aktivitas kolonialnya.

Negara-negara yang mengikuti paham merkantilisme bertujuan untuk menciptakan surplus perdagangan, di mana ekspor jumlahnya melebihi impor. Surplus perdagangan ini juga termasuk tujuan utama Mother Country, di mana Mother Country berusaha menjual lebih banyak barang dan jasa kepada koloni daripada yang mereka beli dari koloni tersebut. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan akumulasi logam mulia, terutama emas dan perak yang dianggap sebagai ukuran kekayaan nasional serta untuk meningkatkan kekuatan ekonomi nasional. 

Mother Country menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi eksploitasi ekonomi koloni melalui penggunaan kebijakan proteksionisme, monopoli perdagangan, dan pemanfaatan sumber daya alam. Koloni diharapkan untuk berperan sebagai penyedia bahan mentah, pasar konsumen, dan pangkalan militer yang mendukung Mother Country. Keberhasilan Mother Country diukur dari sejauh mana mereka dapat mengontrol dan memanfaatkan koloni-koloninya untuk keuntungan ekonomi dan kebijakan politik mereka. Selain itu, Mother Country akan menerapkan kebijakan proteksionisme, seperti tarif dan subsidi, untuk mendukung industri dalam negeri. Prinsip ini menggambarkan komitmen merkantilisme terhadap akumulasi logam mulia sebagai indikator utama kemakmuran negara.

Merkantilisme memiliki sifat zero-sum game, yaitu kepercayaan bahwa keuntungan suatu negara harus bersumber dari kerugian negara lain. Dalam konteks ini, jumlah total kekayaan atau sumber daya dianggap tetap, dan kenaikan kekayaan suatu negara dianggap hanya dapat dicapai dengan merampas atau mengurangkan kekayaan negara lain. Pemikiran ini menciptakan dinamika persaingan ketat antar negara dalam upaya mencari sumber daya dan kekayaan.

Merkantilisme, dengan kecenderungan zero-sum game-nya, menciptakan dinamika persaingan dan rivalitas antar negara. Negara-negara yang menganut merkantilisme bersaing untuk mengamankan sumber daya alam, wilayah kolonial, dan peluang perdagangan yang menguntungkan. Pemikiran ini juga dapat memicu konflik dan persaingan militer, karena keberhasilan suatu negara dianggap sebagai kemunduran bagi negara-negara lain. Meskipun konsep zero-sum game merkantilisme relevan dalam konteks sejarah, pemikiran ini telah mendapatkan kritik dan tantangan dalam teori ekonomi modern.

Saat ini, dalam dinamika global yang semakin kompleks, merkantilisme dalam bentuk murni tidak lagi menjadi paradigma utama dalam pemikiran ekonomi global. Meskipun begitu, elemen-elemen merkantilisme masih tercermin dalam kebijakan dan praktik ekonomi beberapa negara. Beberapa ciri yang masih terlihat adalah kebijakan proteksionisme, upaya menciptakan surplus perdagangan, dan kecenderungan untuk mempertahankan kekayaan nasional melalui akumulasi cadangan devisa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun