Mohon tunggu...
Putri Apsari N
Putri Apsari N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka menulis dan menceritakan apa yang sedang terjadi pada saya di hari itu.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Cancel Culture di Indonesia, Membawa Perubahan atau Hanya Sanksi Sesaat?

24 September 2024   16:01 Diperbarui: 24 September 2024   16:34 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cancel culture atau disebut juga dengan aksi boikot terhadap public figure menjadi topik yang semakin sering dibicarakan, terutama dengan meningkatnya penggunaan media sosial. Cancel culture bisa didefinisikan sebagai proses pelabelan atau penolakan terhadap sesorangbiasanya seorang public figure, yang berperilaku tidak pantas atau melakukan kesalahan yang dinilai buruk oleh publik. 

Bentuk dari cancel culture ini sangat beragam, mulai dari diasingkan secara sosial, memutus kontak kerja, tidak mendukung karyanya, dan lain-lain. Aksi cancel culture ini dinilai sebagai wadah alternatif baru bagi masyarakat untuk berdemokrasi, di mana publik dari berbagai kalangan berhak berpendapat. Hal ini bisa berupa peringatan atau hukuman atas tindakan yang dinilai tidak pantas untuk mempertanggungjawabkan tindakan tersebut di depan publik.

Contoh nyata dari fenomena ini adalah kasus Saipul Jamil, seorang penyanyi dangdut yang terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Setelah kasusnya terungkap, Saipul diboikot dari berbagai platform media, khususnya televisi, sebagai bentuk sanksi sosial. Tindakan seperti ini menunjukkan bagaimana cancel culture berfungsi sebagai alat kontrol sosial, terutama ketika hukum dirasa tidak cukup memberikan efek jera bagi pelaku.

Perkembangan media sosial yang semakin cepat memiliki peran penting dalam mempopulerkan cancel culture. Di platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok, informasi dapat tersebar dengan cepat dan mudah diakses oleh siapa saja yang bisa mencapai jutaan orang. Dengan adanya fitur-fitur seperti like, comment, dan share, opini dan ajakan boikot dari masyarakat dapat dengan mudah menjadi viral. Ajakan untuk memboikot atau men-cancelseseorang dapat menyebar dengan cepat melalui hashtag atau unggahan yang menarik perhatian pengguna. Semakin viral unggahannya, akan semakin cepat pula pemboikotan itu terjadi. Selain itu, cancel culture juga didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat atau publik terhadap berbagai isu sosial, termasuk isu gender, ras, lingkungan, dan hak asasi manusia. Cancel cultureini menjadi salah satu cara publik mengekspresikan ketidaksetujuan terhadap perilaku yang dianggap tidak etis sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk mengambil sikap tegas tersebut.

Di Indonesia, fenomena ini juga sering terjadi dalam berbagai kasus viral di media sosial. Salah satu contoh yang kini sedang banyak diperbincangkan oleh publik adalah kasus Gaga Muhammad, mantan kekasih dari selebgram Laura Anna, yang mendapat kecaman publik setelah terlibat dalam kecelakaan mobil serius yang menyebabkan mantan kekasihnya mengalami cedera berat dan meninggal dunia. Gaga Muhammad menjadi sasaran cancel culture ketika ia membuka endorse di akun Instagramnya. Tentu saja, publik pun bereaksi dengan memboikot dan menggeruduk akun Instagram Gaga Muhammad. Mereka meminta perusahaan dan brand untuk berhenti bekerja sama dengannya. Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuatan cancel culture di era digital dapat merugikan karier seorang public figure secara signifikan, termasuk kehilangan kerja sama dengan brand dan kontrak profesional lainnya.

Namun, dampak dari cancel culture ini sering kali tidak bertahan lama. Beberapa public figure yang telah di-cancel berhasil memulihkan citra mereka seiring berjalannya waktu, terutama jika mereka dapat memanfaatkan strategi dan peluang yang tepat untuk kembali mendapatkan atensi dan dukungan publik. Dalam beberapa kasus, hal ini dapat menimbulkan polarisasi, di mana sebagian masyarakat tetap memboikot sementara yang lain sudah mulai memaafkan atau melupakan kesalahan yang pernah dilakukan.

Budaya cancel culture di Indonesia erat kaitannya dengan nilai-nilai tradisional yang masih dipegang teguh oleh masyarakat. Banyak tindakan atau perilaku seseorang dinilai berdasarkan dampaknya terhadap publik secara keseluruhan. Norma agama, moral, dan budaya menjadi landasan dalam menilai apakah seseorang patut menerima hukuman sosial. Ketika seorang public figure melanggar norma-norma tersebut, respons masyarakat biasanya cukup keras, seperti dalam kasus Saipul Jamil atau Gaga Muhammad. Hal ini memperlihatkan bahwa cancel culture di Indonesia sering kali dipicu oleh pelanggaran terhadap nilai-nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi.

Di Indonesia sendiri, cancel culture masih menimbulkan pro dan kontra dari publik terkait efektivitasnya. Di satu sisi, cancel culture dipandang sebagai alat efektif untuk menegakkan sanksi sosial dan memberikan efek jera bagi pelaku kesalahan. Banyak yang berpendapat bahwa ini adalah cara publik untuk menunjukkan bahwa mereka tidak menolerir perilaku buruh, terutama dari public figure yang memiliki pengaruh besar. Di sisi lain, cancel culture juga dikritik karena dianggap destruktif dan cenderung simplistik dalam menilai sebuah kasus. Publik sering kali hanya melihat satu sisi dari cerita tanpa mempertimbangkan berbagai faktor lain yang mungkin dapat memengaruhi perilaku seseorang. Publik juga bisa saja terbawa arus orang lain dan cenderung hanya "ikut-ikutan" saja.

Fenomena cancel culture ini diibaratkan pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi alat penting dalam menegakkan tanggung jawab sosial, tetapi jika tidak digunakan dengan bijak akan menjadi boomerang dan merusak. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memiliki literasi digital yang baik. Literasi digital tidak hanya berkaitan dengan kemampuan memahami dan mengakses informasi, tetapi juga kemampuan untuk menilai informasi secara kritis dan objektif. Dengan literasi digital yang kuat, masyarakat dapat lebih bijaksana dalam menanggapi isu-isu yang muncul di media sosial dan menghindari penghakiman yang terburu-buru.

Sebagai kesimplan, cancel culture seharusnya tidak hanya dilihat sebagai alat penghukuman sosial semata, tetapi juga sebagai sarana refleksi dan evaluasi. Baik public figureataupun masyarakat luas, penting untuk memahami bahwa tindakan dan perilaku memiliki konsekuensi sosial. Bagi public figure, ini adalah pengingat untuk selalu berhati-hati dalam bertindak. Sementara itu, untuk masyarakat, ini adalah kesempatan untuk menumbuhkan empati dan keadilan dalam menyikapi berbagai isu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun