Bebe" atau Bebek?
Berawal dari kegundahan saya yang melihat selebaran yang di bawa oleh suami. Ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya kesalahan berbahasa yang awalnya hanya verbal tapi lama -- lama menjadi kesalahan bahasa tulis yang sudah membudaya di masyarakat, khususnya di daerah kami.
Sore itu, suami saya pulang dari kantor. Dengan wajah yang sumringah, ia menyapa saya yang sedang bermain bersama anak kami. Di tangannya, saya melihat selebaran yang berwarna cukup mencolok. Setelah diletakkan di meja, saya pun langsung menyambarnya. Ternyata itu adalah selebaran yang berisikan tentang informasi acara balap motor yang akan di adakan di kota kabupaten. Ada sebuah tulisan yang membuat geli mata saya.Â
Pada selebaran itu, tertulis "Taman Bebe"an". Setelah suami saya selesai membersihkan diri dan kelihatannya sudah merasa cukup rileks, saya lalu mengajukan pertanyaan perihal selebaran yang dibawanya.Â
Pertanyaan -- pertanyaan yang saya ajukan awalnya hanyalah pertanyaan biasa yang sebetulnya sudah tersurat di dalam selebaran tersebut. Namun, dengan senang hati, suami saya menjawab tiap pertanyaan itu. Tibalah saya di pertanyaan inti yang sedari tadi mengganjal di pikiran saya.
"Kok lokasinya disini ditulis Bebe"an, maksudnya apa?"
Suami saya menjawab,
"Karena sebagian orang tahu tempat itu bernama 'Taman Bebe"an'."
Saya pun mengajukan protes perihal tanda kutip di kata Bebe" itu. Sebanyak apa pun protes yang saya ajukan, jawabannya tetap sama dan debat kusir ini berakhir dengan skor seri.
Di daerah tempat kami tinggal, sering kali kesalahan berbahasa ini terjadi. Penggunaan bahasa daerah, misalnya. Tidak salah jika di gunakan pada tempatnya. Lawan bicara sudah tentu mengerti dengan bahasa daerah tersebut sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi.Â
Namun, lain halnya jika bahasa daerah atau cara berbahasa daerah tersebut ikut kedalam ranah formal yang disebarluaskan, seperti dalam hal selebaran yang bertuliskan Bebe"an (dengan tanda kutip dua).