Pada tanggal 28 Februari 2006 yang jatuh pada hari Selasa merupakan hari peringatan kematian Hari Gizi Nasional Indonesia. Mengapa? Dengan banyaknya kasus yang mengoyak raga manusia, kesehatan masyarakat tidak terjamin akibat wabah penyakit epidemi yang merajalela. Wabah flu burung misalnya, menjadi momok karena memakan banyak korban manusia; baik anak-anak, remaja, orang tua., bahkan hewan peliharaan-pun ikut menjadi korban. Hingga pemerintah mengambil keputusan untuk membakar habis unggas-unggas yang diduga terkena positif flu burung pada radius 1 kilometer. Sweeping-pun dilakukan diseluruh penjuru daerah. Dengan janji akan mengganti kerugian dengan Rp 10.000,- per unggas, pemerintah ingin membuktikan bahwa dalam masalah ini negara telah mengeluarkan anggaran khusus sebagai langkah strategis pelaksanaan program bidang kesehatan.
Post dana yang telah dikeluarkan digunakan untuk sedikit meringankan beban para peternak unggas, mungkin harga unggas biasa tidak menjadi persoalan tapi bagaimana dengan unggas-unggas langka yang bernilai ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah maka nilai nominal ini tidak banyak membantu, namun karena alasan kesehatan dan hajat hidup orang banyak maka diantara para peternak, atau pecinta unggas rela untuk memusnahkan hewan mereka. Namun yang perlu dicermati apakah langkah ini yang harus dilakukan untuk mencegah flu burung? Haruskah para pecinta unggas merelakan ternaknya dimusnahkan? dan apakah pemerintah akan membiarkan para peternak kecil gulung tikar, pecinta unggas merana karena pelestarian yang mereka lakukan menjadi sia-sia.
Ancaman mencekam kiranya dialami semua orang. Kalau berandai-andai / kemungkinan yang terburuk misal; unggas yang ada di taman safari / kebun binatang positif terkena flu burung, apakah pemerintah akan membinasakan hewan-hewan tersebut. Bagaimana dengan pelestarian sumber daya hayati seperti pelestarian satwa / burung. Apakah tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh selain membinasakan unggas itu? Mengapa komunitas pecinta burung tidak menjerit, berontak, apakah mereka setuju dengan tindakan pemerintah ini? Apakah setuju dan mengamini tindakan ini, dan membenarkan bahwa solusi terakhir untuk mengatasi wabah flu burung adalah dengan metode ini. Kalau burung dan unggas dimusnahkan, maka anak cucu kita tidak akan mengenal apa yang dinamakan burung kuntul (asli Indonesia), burung bleok, dan macam unggas lainnya.
Belum habis wabah flu burung, virus polio, kasus busung lapar juga turut mengkhawatrkan bahkan berita penderita gizi buruk mewarnai seluruh tayangan layar kaca. Shanti misalnya penderita gizi buruk asal Sukabumi, Jawa Barat menderita gizi buruk. Anak usia 6 tahun ini memiliki bobot tubuh hanya 5 kilogram. Jumlah penderita gizi buruk nampaknya makin tajam saja diseluruh pelosok desa. Penderitanya tidak pandang bulu; bayi, anak-anak, remaja, terkena virus lumpuh layu ini. Penderita akibat gizi buruk ini tidak mampu melakukan aktivitas seperti biasanya , bahkan membuka mulut-pun namun minus suara. Bagaimana respon pemerintah untuk menangani permasalahan yang melanda negeri tercinta ini agaknya begitu lambat.
Kalau dicermati kasus ini sebetulnya bukan hal yang baru terjadi dalam dua tahun terakhir ini. Secara kasuistis, kasus seperti ini sudah terjadi sejak beberapa tahun yang lalu. Kasus gizi buruk ini, jumlah prosentase terbesar terjadi di daerah pelosok, desa-desa terpencil (desa IDT). Karena daerah yang cukup terpencil dan sulit dijangkau dengan transportasi dan informasi, sehingga keberadaan para pengidap gizi buruk dan busung tidak seluruhnya dapat di deteksi dan di data. Dan seperti biasa, setelah media mem-blow up masalah ini besar-besaran dan menampilkan tayangan para penderita gizi buruk setiap harinya, pemerintah baru memberikan perhatian dan mengambil langkah.
Langkah tersebut salah satunya dengan menyelenggarakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) 27 Februari 2006 ini. Acara reguler ini, sekarang makin marak didengungkan, sebagai salah satu usaha preventif akan bahaya virus polio. Maka dihari itu POSYANDU ramai dipenuhi dengan balita & anak yang harus disuntik imunisasi. Sebagai usaha pencegahan virus polio, pemerintah sudah mengambil langkah ini, namun bagimana dengan langkah pemeliharaan (treatment) & pengobatan bagi para penderita polio , lumpuh layu dan berbagai penyakit lainnya. Semua harus menjadi prioritas utama kinerja pemerintah khususnya dari bidang kesehatan.
Kemudian bagaimana kelanjutan pencanangan 4 sehat 5 sempurna, kalau 2 bahan pokok saja tidak terpenuhi kandungan gizinya. Semua dikarenakan karena harga bahan dasar pokok melambung tinggi, antara lain; beras, minyak, gula pasir, dll. Bahkan sayuran-pun ikut naik hingga ibu –ibu (masyarakat miskin) mengeluh sayuran 1 unting-pun tidak mampu terbeli. Bagaimana nantinya asupan gizi dan nutrisi bagi bayi, anak-anak, remaja, ibu mengandung & menyusui, manula, dewasa? Bagaimana mencukupi kebutuhan gizi masyarakat kita kalau perekonomian enggan bergerak membaik. Himpitan hidup makin terasa. Apakah kita akan membiarkan anak-anak kita, generasi mendatang menjadi generasi yang busung lapar, polio, kerdil mental dan generasi yang sakit-sakitan (bahkan pesakitan). Ini semua akibat kebutuhan gizi yang tidak terpenuhi.
Mengapa kebutuhan gizi sampai tidak terpenuhi? Secara garis besar ada tiga faktor yang menyebabkan kasus gizi buruk, busung lapar, polio terjadi di Indonesia diantaranya karena alasan perekonomian. Sebagian besar masyarakat ekonomi menengah kebawah dan rakyat miskin tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari , ini semua karena pemerintah belum mampu meningkatkan daya beli mereka, sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari akan makanan bergizi saja adalah hal yang mustahil.
Faktor Kedua adalah pengetahuan yang terbatas. Karena sudah menjadi sebuah kebiasaan bahwa beras (nasi) adalah makanan pokok Indonesia, sehingga ada anggapan kalau belum makan nasi berarti belum makan. Artinya adalah beras merupakan satu-satunya bahan pokok yang memiliki kandungan gizi yang lebih tinggi. Padahal kalau ditilik banyak sekali makanan non-beras yang memiliki kandungan gizi yang sama, tapi karena ketidaktahuan terkadang orang enggan untuk mencari bahan pokok makanan sebagai subtitusi / pengganti. Akibatnya, begitu tidak ada beras, masyarakat seolah-olah hidup dalam penderitaan atau kelaparan. Padahal, masih banyak bahan makanan lainnya non-beras yang mempunyai kandungan gizi jauh lebih tinggi. Misal gandum, sagu, jagung, dsb-nya.
Ketiga, kurangnya kesadaran orangtua terhadap asupan gizi buah hati. Hal ini dikarenakan orang tua sibuk bekerja di area public sehingga menelantarkan kondisi fisik buah hatinya, orang tua yang bekerja menyerahkan sepenuhnya pemeliharaan buah hati mereka pada pengasuh/ pembantu. Alhasil makanan yang dikonsumsi buah hati tidak memenuhi gizi nutrisi bagi perkembangan fisik, cognitif dan psikologi anak. Ini berarti gizi buruk tidak hanya dialami oleh golongan masyarakat menengah kebawah tapi seluruh lapisan masyarakat.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kasus busung lapar dan gizi buruk kembali terjadi di Indonesia? Apakah terjadi penyimpangan ataupun pelaksanaan program perbaikan gizi masyarakat di bidang kesehatan yang tidak terwujud ataupun pemerintah luput dengan anggaran dana yang dikeluarkan sehingga mengalir di tempat yang tidak semestinya. Agaknya bukan hanya tuding menuding aja yang dibutuhkan tapi kemauan untuk bertanggung jawab dan memberikan solusi terbaik bagi perbaikan gizi masyarakat Indonesia, khususnya gizi generasi penerus bangsa, melalui Langkah Strategis Perbaikan Gizi Nasional Indonesia Cepat & Sistematis.(PAN,Yogyakarta, February 26th, 2006)