Kekerasan seksual merupakan salah satu isu sosial yang semakin mendapatkan perhatian di berbagai belahan dunia, salah satunya Indonesia. Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, baik di ranah pribadi (di dalam rumah) maupun di ranah publik (di luar rumah), Â misalnya di transportasi umum, di jalan, atau ditempat sepi pada malam hari. Kekerasan seksual terus mengancam keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kesejahteraan individu. Menurut data SIMFONI PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) tindak kekerasan seksual di Indonesia pada tahun 2024, dengan jumlah kasus 22.113 kasus kekerasan seksual, korban perempuan 19.185 korban dan 4.880 korban laki-laki (Kemen PPPA, 2024). Korban kekerasan seksual menurut kelompok umur terbanyak pada anak remaja dengan usia 13-17 tahun dengan jumlah korban sebanyak 9.811 korban, kemudian pada urutan kedua pada anak usia 6-12 tahun atau anak usia sekolah dasar dengan jumlah korban sebanyak 5.597 koran, jenis kekerasan yang dialami yaitu kekerasan seksual.
Pendidikan seksual "sex education" seharusnya sudah diajarkan kepada anak-anak sejak usia dini atau anak-anak usia sekolah dasar. Pendidikan seksual sangat penting diajarkan guna mencegah terjadinya kekerasan seksual di kalangan anak sekolah dasar. Pendidikan seksual masih dianggap tabu oleh kalangan orang tua dan masyarakat, semua orang berpikir bahwa pendidikan seksual bukan untuk anak kecil. Padahal pendidikan seksual yang diberikan sejak usia dini memiliki dampak yang sangat besar bagi kehidupan seorang anak ketika sudah mencapai usia masa pubertas. Pendidikan seksual sangat penting untuk diajarkan karena mengingat maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Ruang lingkup kekerasan seksual yang sangat luas, berupa lisan maupun tulisan, fisik dan non fisik, mulai dari adanya ungkapan verbal (komentar yang tidak senonoh, gurauan berbau seksual dan sebagainya) dalam bentuk fisik (memukul bagian-bagian yang dimiliki oleh perempuan, mencolek, merapa, memeluk, mengancam dan sebagainya), mempertunjukkan gambar porno, serangan dan paksaan seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam si perempuan untuk memberikan pelayanan seksual, hingga perkosaan (Wijayanti et al., 2021). Ancaman dan motif tertentu dari pelaku cenderung berhasil apabila anak tidak dibekali pemahaman dan keterampilan dalam menolak hal buruk yang dilakukan orang lain terhadap dirinya.
Dampak kekerasan  seksual  pada  anak  tersebut  sangat  besar  dalam  keberlangsungan  kehidupan anak baik fisik maupun psikologisnya; diantaranya dapat mengakibatkan kecemasan, perilaku agresif, paranoid,  gangguan  stres  pasca  trauma,  depresi,  meningkatkan  percobaan  bunuh  diri,  gangguan disosiatif, rendahnya penghargaan diri, penyalahgunaan obat, kerusakan dan kesakitan pada organ kelamin,  perilaku  seksual  menyimpang,  ketakutan  pada  seseorang  atau  tempat,  gangguan  tidur, agresif,  menarik  diri,  somatisasi  serta  menurunnya  prestasi  di  sekolah (Permatasari  &  Adi,  2017). Selain  itu  kekerasan  seksual  bisa  menghilangkan  kesempatan  anak  untuk  memperoleh  pendidikan dengan  baik.  Adapun  faktor  penyebab  pelecehan  seksual  pada  Anak menurut  Napitupulu  &  Julio (2023) yaitu  rendahnya  kesadaran  masyarakat  terhadap  hak  anak,  pendidikan  karakter  di rumah, kemiskinan  atau  rendahnya  pengetahuan  tentang  pendidikan  seks,  penyebaran  perilaku  jahat  antar generasi, ketegangan sosial, serta lemahnya penegakan hukum.
Kekerasan seksual kerap terjadi di berbagai lingkungan, termasuk institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi peserta didik untuk belajar dan berkembang. Namun kenyataannya pendidikan dijadikan sebagai tempat untuk melakukan tindak kekerasan seksual. Pendidikan memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual. Melalui pendidikan, peserta didik dapat diberikan pemahaman mengenai batasan-batasan pribadi, hak-hak mereka, serta cara melindungi diri dari situasi berbahaya. Pendidikan tidak hanya bertugas untuk mengajarkan pengetahuan akademis, tetapi juga sebagai ruang dalam pembentukan karakter dan nilai-nilai sosial. Melalui pendidikan yang tepat, individu dapat dibekali dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan untuk mengenali, menggali, mencegah dan melaporkan tindakan kekerasan seksual. berikut merupakan peran pendidikan dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual di sekolah dasar. Berikut adalah beberapa peran Pendidikan, dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual.
1. Pendidikan Seksual yang Komprehensif
Pendidikan seksual yang dirancang untuk memberikan pemahaman sesuai usia tentang tubuh, hubungan, dan rasa hormat terhadap diri sendiri maupun orang lain. Pada tahap ini, pendidikan seksual difokuskan pada pengenalan bagian tubuh, konsep batasan pribadi (personal boundaries), serta pentingnya persetujuan (consent) dalam interaksi fisik. Pendekatan yang digunakan harus menyenangkan, berbasis permainan, dan dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami anak-anak. Tujuan utamanya adalah membantu anak mengenali sentuhan aman dan tidak aman, serta mengajarkan keberanian untuk berbicara kepada orang dewasa yang dipercaya jika mereka merasa tidak nyaman. Dengan demikian, pendidikan seksual di sekolah dasar tidak hanya mencegah risiko kekerasan seksual, tetapi juga membangun kesadaran sejak dini tentang hak tubuh, kepercayaan diri, dan penghormatan terhadap orang lain.
2. Pembentukan Kebijakan dan Standar Operasi Prosedur (SOP) Pendidikan yang Jelas
Pembentukan kebijakan dan standar operasi prosedur (SOP) pendidikan yang jelas merupakan langkah strategis untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan bebas dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Kebijakan ini harus mencakup panduan yang komprehensif terkait pencegahan, pelaporan, penanganan, dan pemulihan bagi korban kekerasan. SOP perlu dirancang dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, seperti guru, siswa, orang tua, dan pihak berwenang, untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut relevan dan dapat diimplementasikan secara efektif. Prosedur pelaporan harus mudah diakses dan ramah anak, dengan jaminan kerahasiaan dan perlindungan bagi korban. Selain itu, SOP harus mencakup pelatihan rutin bagi staf sekolah untuk mengenali tanda-tanda kekerasan dan memberikan respons yang tepat. Kebijakan yang jelas dan tegas ini tidak hanya mencegah terjadinya kekerasan, tetapi juga membangun kepercayaan seluruh komunitas sekolah dalam upaya menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung.
3. Mendorong Komunikasi Terbuka Responsif antara Guru, Siswa, dan Orang Tua
Mendorong komunikasi terbuka dan responsif antara guru, siswa, dan orang tua adalah kunci dalam mengatasi permasalahan kekerasan seksual di sekolah dasar. Hubungan yang berbasis kepercayaan ini memungkinkan siswa untuk merasa aman mengungkapkan kekhawatiran atau pengalaman mereka tanpa rasa takut atau malu. Guru perlu dilatih untuk menjadi pendengar yang aktif dan empatik, menciptakan ruang aman di mana siswa merasa nyaman berbicara tentang apa yang mereka alami. Orang tua juga harus dilibatkan melalui edukasi dan diskusi tentang pentingnya mendengarkan anak dengan serius serta mengenali tanda-tanda kekerasan seksual. Selain itu, komunikasi yang efektif antara sekolah dan orang tua melalui pertemuan rutin atau platform digital dapat memastikan bahwa setiap pihak saling berbagi informasi dan berkolaborasi dalam menciptakan lingkungan yang mendukung. Dengan membangun dialog yang terbuka dan saling mendukung, potensi kekerasan seksual dapat dicegah lebih awal, sementara siswa yang menjadi korban dapat menerima bantuan secara cepat dan tepat.