Mohon tunggu...
putri alycia
putri alycia Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Malang

Masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengulik Keadaan Psikologi Anak Penghafal Al-Qur'an Usia Pertengahan

9 Desember 2022   16:52 Diperbarui: 9 Desember 2022   16:55 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Bagi seorang muslim memiliki anak adalah sebuah tanggung jawab yang besar, karena bagaiamana kemudian orang tua harus mendidik anak sesuai ajaran agama adalah sesuatu yang bisa jadi sangat berat. Menyadari akan urgentnya hal tersebut maka sekolah sekolah berbasis agama atau yang biasa kita sebut dengan pondok pesantren. Saat ini banyak pondok pesantren yang sudah memberikan fasilitas untuk anak pertengahan- akhir yang bisa kita sebut dengan usia sekolah yakni pada umur 6-12 tahun. Pondok-pondok pesantren tersebut juga banyak yang menawarkan program unggulan yakni menghafalkan al-qur'an. Bagi banyak orang tua yang memiliki pemahaman baik soal agama mereka mungkin akan memilih untuk memasukkan anaknya ke dalam pondok pesantren dan mengikut sertakan anaknya ke dalam program hafalan al- qur'an.

Namun begitu di era Pendidikan modern saat ini, metode menghafal bagi anak-anak menuai banyak kritikan, sebagaiamana di temukan pada penelitian Boyle (2006), ia menemukan beberapa masyarakat yang tidak menyukai dan menghindari pembelajaran yang berbau "menghafal". Lantas bagaimana dengan menghafal al-qur'an sebanyak 30 Juz? Hal tersebut dikhawatirkan oleh sebagian orang akan memberikan dampak pada psikologis dan beban berat kepada anak. Keadaan emosional anak usia 6- 12 tahun merupakan masa pertengahan dan akhir yang ditandai dengan mulai masuk sekolah dasar. Proses peralihan anak berusia 6- 12 tahun ini dari masih mengenal dunia sekitarnya menjadi "ingin bermain" harus berlangsung dengan kegiatan menghafal al- qur'an yang membutuhkan pikiran, serta menguras banyak waktu dan tenaga.  

Lida (2010) dalam sebuah penelitian beliau mengatakan bahwa pada usia sekolah dasar (6-12 tahun) kemampuan berpikir anak lebih tinggi kea rah kognitif yang konkrit, rasional, dan objektif. Ingatannya menjadi sangat kuat, sehingga anak-anak benar- benar belajar. Selama waktu ini, anak mengembangkan pemikiran logis atau rasional. Dia mulai memahami operasi dengan beberapa operasi aritmatika, misalnya 7x5=35, 35:5=7. Untuk memahami lingkungan alam, anak pada usia ini tidak lagi mengandalkan informasi dari pikirannya dan panca inderanya  karena mereka mulai bisa membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sebenarnya. Bahkan sekarang anakanak berada pada level bepikir konkret. Artinya pemikirannya masih berhubungan erat dengan objek atau situasi nyata. Baru pada usia 12 tahun (kelas 6 SD) anak sudah mampu memahami secara abstrak. Dengan demikian, keadaan psikologis anak pada usia ini dipengaruhi oleh faktor eksternal yang melingkupinya dalam aktivitas sehari-hari. Jika lingkungan tidak baik, anak cenderung mengikuti arus dan seblaiknya. Lingkungan yang baik akan membentuk karakter yang baik bagi anak ketika dewasa nanti. Dengan Pendidikan Tahfidz al-qur'an menempatkan anak pada lingkungan yang baik, mendidik jiwanya dan mengembangkan akhlak yang baik.

Problem psikologi yang mungkin di dapatkan oleh seorang anak adalah padatnya kegiatan belajar di sekolah dan di pesantren tahfidz al-qur'an yang menyita banyak waktu anak sehingga mereka kehilangan jati dirinya sebagai anak yang membutuhkan bermain. Padatnay waktu yang tidak dikelola dengan baik juga mempengaruhi psikologisnya. Anak-anak cenderung bosan sehingga nanti akan memberikan dapak pada sikap mereka yang menjadi pendiam, nakal, atau perbuatan buruk lainnya. Pasalnya, anak tidak memiliki ruang dan waktu untuk mengekspresikan "karakter kekanak-kanakan" mereka.

Disini terlihat bahwa padatnya waktu menimbulkan kebosanan dan kejenuhan pada anak, perencanaan waktu di perlukan untuk menjaga gejolak emosi anak, seperti yang dikatakan di atas, anak pada usia ini cenderung mengingat apa yang terjadi ketika mereka masih kecil saat ia menginjak dewasa dan tua.

Seperti pemikiran konkrit diatas, anak pada usia ini juga membutuhkan pemahaman konkrit untuk memahami agama. Anak masih bertany apada dirinya sendiri, "kenapa kita harus sholat?" dan seterusnya. Anak- anak usia ini membutuhkan penjelasan yang nyata bagi mereka untuk memahami dan mengerti agama. Menurut penelitin Ernest Harms (1944) perkembangan anak melewati beberapa tahap. Anak sekolah dasar sampai dengan anak usia remaja merupakan tahap realitas (realistis stage). Seperti di sebutkan diatas, anak bertanya mengapa ia harus mengaji misalnya.

Memahami agama berdasarkan realita berarti anak lebih cenderung melihat sekeklilingnya saat di sekolah, saat mengaji di TPQ atau pesantren. Pada saat itu anak tertarik dan puas dengan Lembaga keagamaan yang mereka lihat dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan karakteristiknya, sifat agama anak tumbuh sesuai dengan pola pemikiran otoritatif, pemikiran religius anak hampir sepenuhnya otoratif, artinya persepsi keagamaan mereka dipengarhi oleh eksternal. Jika faktor eksternal seperti pondok pesantren atau madrasah terus-menerus mengajarkan membaca al-qur'an dan anak selalui disuguhi al-qur'an maka anak akan terbiasa dengan al-qur;an dan itu memberikan dampak yang bagus untuk mereka dewasa nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun