Pada masa pandemi covid-19 Ini memiliki dampak yang sangat luas, tidak hanya pada sisi Kesehatan namun juga pada sector keuangan, UMKM, dan juga termasuk pada industry perbankan syariah. Masa pandemic ini menjadi tantangan tersendiri bagi para sector keuangan, UMKM maupun Perbankan syariah untuk terus bertahan atau bahkan menaikan performa nya pada masa pandemic covid-19 ini.
Dengan demikian tantangan masa pandemic covid-19 ini entah akan berbuah manis atau bahkan sebaliknya, tergantung para stakeholder menanganinya. Untuk menangani masalah perlu diketahuinya berapa besar risiko atau apa resiko yang akan dihadapi ke depannya. Dengan mengetahui apa saja risiko yang akan dihadapi membuat kita dapat berhati-hati, atau mencari cara untuk mengurangi risiko permasalahan tersebut. Risiko sendiri merupakan potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. Segala macam hal yang ada di muka bumi ini pasti memiliki risiko. Risiko ini tidak dapat dihilangkan namun, bisa dihindarkan dengan berbagai cara. Kembali lagi kepada diri kita bagaimana cara kita dalam menghadapi risiko-risiko tersebut.
Begitu pula pada industry perbankan syariah. Industry perbankan syariah juga memiliki beberapa risiko dalam operasionalnya. Risiko operasional dapat menimbulkan kerugian berupa kerugian keuangan secara langsung ataupun tidak langsung dan dapat menimbulkan kerugian potensial. Kerugian keuangan secara langsung menyebabkan bank Syariah kehilangan uang secara langsung seperti akibat pencurian oleh karyawan baik secara system maupun secara fisik. Kerugian tidak langsung dapat muncul akibat bank Syariah salah dalam mencatatkan pembukuan atau klaim biaya atas kesalahan teknologi informasi. Kerugian potensial berupa kerugian yang timbul akibat hilangnya kesempatan mendapatkan laba, selain itu risiko operasional juga dapat menimbulkan kerugian yang tak terhitung dengan uang seperti penyebab kegagalan operasional yang dapat memunculkan menurunnya atau hilangnya reputasi bank Syariah.
Pada sebelumnya perbankan syariah ataupun unit usaha syariah juga mengalami beberapa risiko seperti transformasi di era digital. Pada era dimana segala hal dapat dilakukan hanya dengan menggunakan smartphone membuat tantangan juga bagi industry perbankan syariah. Dalam melalui ini perbankan syariah berhasil turut andil dalam transformasi digital salah satunya dengan adanya program m-banking. Dengan telah melalui resiko-resiko yang harus di hadapi maka perbankan syariah salah satu nya adalah BSI berhasil menghadapi era digital tersebut. Dilansir dari web resmi BSI bahwa, volume transaksi kanal digital BSI yang tumbuh signifikan sepanjang triwulan kedua 2021. Hingga Juni 2021, nilai transaksi kanal digital BSI sudah menembus Rp 95,13 triliun. Hal ini didorong oleh jumlah pengguna mobile banking yang menembus 2,5 juta. Ini menunjukan bahwa BSI berhasil menghadapi tatangan era digital dimana harus menghadapi risiko-risiko yang ada.
Ada 3 risiko besar yang harus dihadapi oleh perbankan dimasa pandemic covid-19 ini yaitu, redit macet, risiko pasar, dan risiko likuiditas. Pandemic covid-19 menyebabkan gangguan dalam sisi permintaan dan supply. Begitu banyak karyawan terkena PHK, mengakibatkan turunnya pendapatan dan membuat permintaan jadi ikut menurun. Kepanikan terjadi dimana-mana, saat awal masa pandemi banyak sekali pemilik dana yang menarik dananya dari bank untuk disimpan di asset lebih aman. Ini menyebabkan perbankan menghadapi risiko kredit macet. Risiko pasar juga membuat perbankan harus melakukan pencadangan yang dimana akan memberatkan neracanya, membuat profitabilitas lebih rendah, juga terganggunya permodalan. Serta masih ada risiko likuiditas akibat naiknya biaya dana.
Namun ternyata, menghadapi masa pandemic covid-19 ini perbankan syariah lebih unggul dari bank konvensional. Dikutip dalam acara Economic Challenge Special Ramadan yang diselenggarakan MetroTV, Rabu (21/5) Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo menerangkan bahwa menurutnya, perbankan syariah di masa pandemi ini justru bisa mendapatkan nasabah dari sisi tabungan yang lebih luas lagi. Kemudian, bank syariah bisa terus berekspansi dari sisi digital.
"Meyakinkan masyarakat bahwa memang perbankan syariah aman untuk menempatkan dana dan dalam jangka panjang tidak ada guncangan dari sisi likuiditas," ujarnya.
Kemudian risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah pada umumnya tidak terlalu banyak perbedaan dengan apa yang juga dihadapi perbankan konvensional pada umumnya. Karena perbankan syariah memiliki penyangga dalam kepatuhan terhadap produk dan pembiayan-pembiayaan yang diawasi oleh DPS (dewan pengawas syariah) yang ditunjuk langsung oleh DSN-MUI, maka dari itu perbankan syariah relative terjaga dari berbagai risiko pembiayaan yang keluar dari prinsip syariah.
Juga dari sisi likuiditas, perbankan syariah memiliki sisi fanatisme. Dimana para nasabah di perbankan syariah menabung salah satunya karena faktor keyakinan bahwa sistem syariah sesuai dengan ajaran Islam. Dimana dijamin kehalalan juga diawasi oleh Dewan Syariah Nasional -- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan terhindar dari segala hal yang dilarang seperti riba, gharar, dan maysir. Oleh karena itu likuiditas perbankan syariah di masa pandemi ini tidak akan mengalami kekurangan likuiditas.
Masyarakat juga memandang industry perbankan syariah sebagai industry yang transparan. Dimana menggunakan sistem bagi hasil yang mana kedua pihak atau lebih saling menyetujui satu sama lain, pula tidak memberatkan publik. Selain itu juga, masyarakat Indonesia dimana mayoritas penduduknya yang beragama islam merasa dipermudah dengan adanya layanan transaksi seperti zakat, wakaf, infak dan sedekah tanpa harus berinteraksi secara langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H