PUTRI AGENG ANJANI, SH.
Pada agustus 2019, Masyarakat papua membakar kantor Telkom Indonesia di Jayapura. Hal ini murpakan dampak dari pemblokiran internet di bumi cerdrawasih yang mengakibatkan kemawarahan masyarakat papua. Pemblokiran internet di Papua saat itu dilakukan pemerintah melalui Kemenkominfo menyusul pecahnya aksi unjuk rasa di beberapa wilayah Papua seperti Fakfak, Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Aksi demonstrasi besar-besaran itu kemudian berujungricuh.
Selama dua pekan, masyarakat dirugikan secara ekonomi dan kesulitan terhadap keseharian akibat tpembelokiran akses internet. Menteri Kominfo saat itu Rudiantara mengklaim mendapat kritikan bertubi-tubi atas pemblokiran internet di Papua. Namun, ia dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan bahwa pemblokiran internet di Papua wajib dilakukan atas nama keamanan nasional dan situasi darurat. Kendati tidak pernah mengumumkan mengenai pemblokiran akses internet di Papua secara langsung, saat itu Jokowi mengklaim kebijakan itu dilakukan untuk kepentingan bersama. Kemudian, baru pada 11 September 2019 pukul 16.00 WIT, pemerintah melalui Kemenkominfo mencabut seluruh blokir akses internet di Papua dan Papua Barat. Atas kebijakan pemblokiran internet di Papua, sejumlah lembaga seperti South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), LBH Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), KontraS, Elsam, dan ICJR menggugat Jokowi dan Kemenkominfo ke PTUN.Â
Gugatan itu dilayangkan ke PTUN pada 21 November 2019 dengan nomor gugatan 230/G/TF/2019/PTUN.JKT. Setelah hampir enam bulan, gugatan mereka akhirnya dikabulkan PTUN Jakarta. Hakim Ketua Nelvy Christin bersama dua hakim anggota Baiq Yuliani dan Indah Mayasari memutuskan untuk mengabulkan gugatan para penggugat.
"Mengabulkan gugatan para tergugat untuk seluruhnya. Menyatakan perbuatan para tergugat adalah perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pemerintahan,"
Pembatasan internet yang diberlakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia bersifat melawan hukum karena hak masyarakat untuk menggunakan internet adalah bagian dari hak asasi manusia. Walaupun menurut pemerintah dilakukan dalam rangka tujuan kemanfaatan yaitu untuk mencegah penyebaranberita bohong (hoaks), hasutan, ujaran kebencian atau permusuhan berdasarkanSARA yang berpotensi menimbulkan kerusuhan yang dapat memecah belahpersatuan dan mengancam keamanan negara khususnya di wilayah ProvinsiPapua dan Papua Barat dan dilakukan hanya terhadap layanan data seluler,maka hakim mempertimbangkan oleh karena sebagian besar masyarakatmemanfaatkan internet dengan menggunakan layanan data seluler dan bahkanhampir terdapat ketergantungan orang terhadap internet melalui data selulerdalam melakukan setiap aktivitas dalam kehidupannya sementara objeksengketa menyatakan keadaan bahaya sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959/Undang-undang Nomor 23 Prp Tahun 1959tentang Keadaan Bahaya, sehingga objek sengketa dalam situasi yang secara hukum belum dinyatakan sebagai keadaan bahaya,menurut Majelis telah mengakibatkan hak asasi lain pihak lain yang bukan pelakupenyalahgunaan internet menjadi terabaikan bahkan terkurangi di antaranyakebebasan pers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H