Terbentuknya Indonesia yang memiliki banyak sejarah dapat dipelajari dengan cara menarik di Museum Sri Baduga. Museum dengan berbagai macam aspek sejarah serta memiliki lebih dari 6.000 koleksi dan penjelasan peninggalan sejarah ini terletak di Kota Bandung, Jawa Barat. Museum yang menjadi saksi dari perjalanan panjang sejarah Nusantara memiliki koleksi dari sejarah alat transaksi yang terjadi selama masa prasejarah hingga masa mata uang Republik Indonesia saat ini. Salah satu hal yang menarik adalah terdapat alat transaksi atau alat tukar pada masa Hindia-Belanda.
Apa saja satuan nilai mata uang pada masa Hindia Belanda?
Pada akhir abad ke-16, Armada kapal dagang Belanda mendarat di Pulau Jawa. Pada tahun 1602 mereka mendirikan persekutuan dagang di Hindia-Timur, dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost -Indische Compagnie) atau Kompeni Belanda. Pada masa ini beredar berbagai mata uang dengan satuan nilai seperti, dukat/ducatoon, duit/duyit, stuiver, gulden, dan sebagainya yang tercetak dipropinsi baik itu negeri belanda ataupun Indonesia, terutama di Batavia.
Sebelum menjadi Indonesia, Indonesia disebut dengan sebutan Hindia-Belanda, dimana Hindia-Belanda ini sangatlah penting bagi Kerajaan Belanda, karena merupakan koloni yang besar. Pada masa ini pertukaran ekonomi dan kebijakan kolonial sangatlah bergantung kepada mata uang. Di Museum Sri Baduga terdapat mata uang tersebut yang dapat dijadikan sarana pembelajaran bahkan dapat dijadikan bukti fisik perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan.
Terdapat dua jenis mata uang Hindia-Belanda, yaitu koin dan kertas. Simbol -- simbol kolonial terdapat pada mata uang kertas dan koin logam ataupun tembaga. Dari mata uang ini kita dapat melihat gambaran tentang kekayaan budaya dan sejarah pada masa itu. Terdapat tokoh -- tokoh Penguasa Belanda dan simbol -- simbol kekuasaan pada beberapa mata uang koin, dan juga terdapat cerminan kehidupan Masyarakat Hindia-Belanda pada koin lainnya.
Beberapa mata uang menampilkan lambang kekuasaan Belanda dan mencitrakan keunggulan mereka. Oleh karena itu, mata uang tidak hanya berfungsi sebagai alat tukar, ataupun indentitas mata uang tersebut tetapi dapat di jadikan alat propaganda bagi para penguasa dan mata uang juga pencerminan dari narasi yang dibuat oleh penguasa pada masa itu.
Menjelang runtuhnya VOC (1799) dibuat uang darurat dari potongan batangan tembaga berbentuk persegi empat yang dicetak di Batavia, disebut uang bank. Beberapa satuan mata uang yang beredar lainnya adalah gulden dan sen, dengan istilah ringgit (5 Gulden/Rupiah). Selain uang logam dicetak pula uang kertas keluaran De Javasche Bank; inilah bank pertama yang berdiri di Indonesia pada abad ke-19, sekrang menjadi Bank Indonesia. Kemudian pemerintah Hindia-Belanda berusaha mengisi kas dengan berbagai cara, antara lain menjual beberapa lahan tanah kepada perusahaan (swasta) yang membuka usaha perkebunan. Pemilik perkebunan selain orang Belanda sendiri juga orang-orang asing seperti Cina, Arab, Jerman, Inggris, Perancis dan Jepang yang memiliki perkebunan teh, kopi, tembakau, tebu, dan karet. Untuk membayar gaji buruh yang bekerja di perkebunannya, mereka menciptakan uang yang disebut token perkebunan, semacam alat tukar yang hanya beredar dan berlaku di tempat tertentu, seperti token untuk perkebunan teh, token untuk perkebunan tembakau, dan sebagainya. Bahan dari token perkebunan sangat unik, yaitu selain logam dan bambu.
Kesimpulan
Mata Uang yang digunakan pada masa Hindia Belanda tidak menggunakan satu mata uang untuk diedarkan dan hanya berlaku di tempat tertentu. Dikeluarkannya beberapa satuan mata uang juga dikarenakan sebagai langkah VOC untuk mempertahankan  serikat mereka. Sehingga dengan kertas dan logam, kita dapat mengetahui bagaimana kehidupan yang terjadi pada masa dimana mata uang tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H