Mohon tunggu...
p
p Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa luntang-lantung. Pekerja slengean. Tukang jualan tulisan. Pecinta Tolkien, Kenjutsu, kucing,Gregorian dan grup Alborada. Punya moto 'Fortune Favors the Bold' tapi masih takut nonton film horor Jepang. Blog iseng lain: www.putri2wotan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saat Seseorang Hendak Turun (dari Angkot)....

5 Oktober 2013   21:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:56 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman saya naik angkot di Indonesia terbagi menjadi dua bagian : saat saya berada di Balikpapan, dan saat saya menjalani kuliah di Yogyakarta (sebenarnya, saya pernah juga mencoba naik angkot di Malang dan Samarinda, tetapi saya tidak ingat rinciannya karena saya lebih banyak melamun daripada menikmati perjalanan, jadi tidak usah kita bicarakan). Satu hal yang sering saya amati saat sedang naik angkot adalah bagaimana penumpang yang hendak turun diperlakukan.

Di Yogyakarta, saya biasa naik bus sebagai sarana angkutan dalam kota. Sang kenek selalu memberi peringatan pada siapapun yang hendak turun berupa seruan “kiri!” Maksudnya, penumpang diharapkan turun dengan kaki kiri lebih dahulu agar mereka tidak tersandung kaki sendiri ketika bus keburu melaju, lantaran melakukan yang sebaliknya. Tetapi, ekspresi kesopanan tersebut biasanya berhenti sampai di situ saja, karena seringkali saya mengalami harus melompat dan mendarat dengan menjaga keseimbangan lantaran bus menolak berhenti sepenuhnya.

Penyebabnya? Biasanya karena supir bus sudah melihat bus bernomor sama yang melaju ke arahnya dari belakang, sehingga kalau tersalip, kesempatan mencari penumpang pun akan diserobot. Begitulah, di Indonesia, bahkan untuk sekedar turun dari bus saja kita harus menguasai pencak silat. Selama empat setengah tahun di Yogyakarta, saya tak pernah sekalipun terjatuh. Bukan karena saya belajar pencak silat, tetapi karena saya sudah tahu bagaimana menapakkan kaki dan mengatur keseimbangan tubuh sedemikian rupa ketika melompat dari bus yang menolak berhenti. Ajang latihan ini mungkin bagus bagi pemeran pengganti, tapi tidak bagus bila anda adalah wanita hamil, pemilik cedera di bagian kaki, atau sedang membawa segebug telur mentah dan piring beling.

Di Balikpapan, adegan seperti ini jarang saya lihat. Penyebabnya mungkin karena angkot alias ‘taksi’ di Balikpapan hanya sebesar mobil minibus, kebanyakan begitu sempit sehingga tak ada ruang cukup bagi penumpang untuk melakukan manuver ala pemeran pengganti tersebut. Tetapi perlakuan istimewa untuk penumpang yang akan turun juga jarang ada, hingga saya melihat adegan berikut.

Waktu itu, dalam sebuah taksi bernomor 2A, seorang penumpang lelaki yang duduk di belakang berseru agar supir berhenti, karena ia sudah tiba di tujuannya. Supir sebenarnya sudah menghentikan taksi sepenuhnya, namun ketika si penumpang ini masih sibuk menjejalkan dirinya (dan ransel besarnya) di ruang sempit antara kursi penumpang dan jendela, mendadak supir memundurkan taksinya. Si penumpang jelas kaget dan berseru, “lho, saya belum turun, pak !”

Si supir tidak menyahut, melainkan hanya melihat ke belakang dan sesekali ke samping kirinya, ketika memundurkan taksinya. Semua penumpang yang penasaran akhirnya ikut-ikutan melihat ke luar, dan…oo, ternyata taksi itu barusan berhenti di samping genangan air yang cukup lebar dan dalam, bekas hujan deras malam sebelumnya. Di tepi-tepi genangan air, tepat di samping dan jauh hingga ke depan posisi taksi, tanah yang basah memberi jaminan hadiah berupa lapisan lumpur tebal nan lengket bila ada yang coba-coba menapakkan kaki di atasnya. Supir ini memundurkan taksinya hingga mencapai daerah pinggiran jalan yang cukup kering karena tertutup kerikil, agar si penumpang bisa turun tanpa mengotori sepatunya.

Ini bukan karena supir taksi di Balikpapan lebih sopan daripada supir bus di Yogyakarta, karena di Yogyakarta toh ada supir bus yang begitu santun tutur katanya dan sopan perilakunya di jalan raya, sementara di Balikpapan ada juga supir taksi yang sok jago dan mau menang sendiri terhadap penumpangnya. Mungkin, kejadian itu menarik perhatian saya karena, selama tinggal dan naik taksi di Balikapapan, saya belum pernah menemukan supir taksi yang, walaupun sedang dikejar setoran, tetap saja dengan sukarela mundur beberapa meter, sambil diklakson berkali-kali demi menjaga agar sepatu seorang penumpang tidak kotor.
Yang jelas, ini bukan satu-satunya pengalaman menarik dan menyentuh yang hanya bisa dialami saat naik angkot, kecuali jika Anda menghitung mereka yang  sedang 'bermeditasi' total dengan telinga tersumpal earphone dan smart phone di pangkuan....
Apa pengalaman menarik Anda saat naik angkutan umum?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun