Dan lain lain
+/- 5%
Dan dari keseluruhan sumber energi di atas, saat ini Indonesia menggunakan 12% energi terbarukan, dan 88% energi tidak terbarukan.
Dari seluruh pembangkit tersebut dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan berbentuk kepulauan tentunya masih ada beberapa tempat yang belum mendapatkan fasilitas listrik dengan cukup memadai, misalkan : defisit yang terjadi di wilayah SUMUT, KALBAR atau pasokan listrik yang pas pasan di SULUT, dan juga beberapa daerah yang berada di daerah terpencil atau Remote area. Bahkan untuk mengaliri listrik di daerah-daerah terpencil menimbulkan kesulitan tersendiri dan biaya yang cukup besar, karena pada umumnya mereka menggunakan PLTD yang menggunakan bahan bakar minyak yang cukup besar biayanya dibanding dengan jika menggunakan pembangkit yang lain, namun jika diselesaikan dengan membangun infrastruktur (pembangkit berbahan bakar lain) juga membutuhkan biaya yang sangat besar.
Masalah geografis di atas juga diikuti kebutuhan listrik yang terus meningkat rata-rata 8% sd 9% per tahunnya di seluruh wilayah Indonesia, atau jika dihitung per wilayah kurang lebih untuk SUMUT 12%, Kalimantan 14%, Sulawesi 14%. Meningkatnya kebutuhan listrik tentu tidak bisa terelakkan lagi dalam suatu negara seiring bertambah majunya peradapan suatu negara, bahkan listrik sudah seperti nyawa bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dari segi supply, berdasarkan kapasitas , industri kelistrikan kita mampu men-supply sebesar 48.000 MW, sedangkan demand belum sampai 48.000MW, sehingga masih ada cadangan, namun sayangnya cadangan tersebut tidak merata, paling besar berada di pulau jawa sebesar 30%, sedangkan di pulau lain bervariasi. Sehingga masih didapati beberapa tempat kekurangan pasokan listrik, Seperti di Sumatra dan Kalimantan penambahan kapasitas sudah ada, namun penambahannya tidak secepat pertumbuhan demand (permintaannya).
Nah…..dari uraian di atas untuk memenuhi kebutuhan listrik yang terus meningkat maka sangat dibutuhkan penambahan kapasitas di beberapa wilayah dengan pembangunan pembangkit-pembangkit baru di beberapa tempat di Indonesia, dan hal ini sudah diterjemahkan melalui proyek 10.00MW yang sudah dimulai tahun 2006 silam, dan sekarang dilanjutkan dengan proyek 35.000MW , tentunya ini akan menjadi sebuah investasi yang membutuhkan dana yang sangat besar,dan beberapa skema pendanaan nya adalah sebagai berikut :
Seperti pada umumnya, sebuah kebutuhan investasi dapat didanai dari MODAL atau HUTANG, sama halnya juga pada PLN (Perusahaan Listrik Negara). Pada sisi modal penambahan dana dari pemerintah sebagai pemilik korporasi sepertinya tidak memungkinkan jika untuk mengcover semuanya, sedangkan dari sisi hutang , penambahan dana melalui hutang juga sudah tidak memungkinkan mengingat struktur hutang PLN (debt equity ratio) yang sudah cukup besar
Dengan melibatkan pihak swasta.
Dari 2 skema pendanaan diatas, tentunya skema pendanaan no 2 cukup sulit dihindari lagi saat ini, ini tampak dari pelaksanaan proyek 35.000MW yang saat ini sedang berjalan. Dari 109 proyek pembangkit listrik berdaya total 35.585MW, sebanyak 74 proyek berkapasitas 25.904MW akan dikerjakan oleh swasta, sementara pemerintah yang dalam hal ini PLN hanya mengerjakan 35 proyek berkapasitas 10.681MW. Skema ini lah yang kemudian berkembang menjadi isu liberalisasi kelistrikan yang seperti banyak kita baca di media massa. Isu liberalisasi semakin merebak dengan munculnya wacana lease back pembangkit yang masuk dalam FTP (Fast Track Programme) 10.00MW kepada Cina yang merupakan kontraktor yang membangunnya.
Jika kita berbicara tentang Monopoli dan Liberalisasi, maka kita perlu penjelasan sebagai berikut :
Monopoli adalah struktur pasar dengan ciri-ciri :
1.Hanya ada 1 penjual.
2.Tidak ada subtitusi produk yang mirip.
3.Perusahaan monopoli bertindak sebagai price setter
4.Terdapat hambatan masuk ke pasar dalam bentuk : Undang-Undang; memerlukan tehnologi yang canggih dan modal yang besar .
Hal ini tentu bertentangan dengan Liberalisasi, yang berarti membuka pintu untuk pihak luar, yang dalam hal ini pihak swasta untuk ikut bermain. Praktek liberalisasi tentunya akan membuka pintu persaingan yang pada umumnya akan berdampak pada meningkatnya inovasi, tehnologi, sistem yang akan berujung dengan dihasilkannya : efisiensi perusahaan, peningkatan kualitas pelayanan, memberikan ragam pilihan harga bagi konsumen sehingga mereka bisa menyesuaikan sesuai kebutuhan dan kemampuan, dll.
Dalam konteks industri kelistrikan di Indonesia, saat ini Indonesia masih menggunakan sistem monopoli, namun ternyata seiring dengan meningkatnya peradapan, meningkatnya kebutuhan kelistrikan, maka mengandalkan peran 1 perusahaan saja mungkin akan dirasa sangat berat mengingat wilayah yang luas, jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan ekonomi dan peradapan yang tentunya meningkatkan kebutuhan listrik dari tahun ke tahun secara pesat. Praktek monopoli juga cenderung membuat sebuah perusahaan tidak mampu beroperasi secara efisien.
Namun di sisi lain melakukan liberalisasi pada sektor yang cukup vital juga sangat beresiko, terlebih efek berantai yang dapat ditimbulkannya. tidak ada jaminan bahwa setelah melakukan liberalisasi dibidang kelistrikan akan menyebabkan harga listrik murah, apalagi jika kembali ke fitrahnya swasta selalu mengejar keuntungan. Tidak ada jaminan pula supply listrik akan langsung terpasok sempurna kepada masyarakat.
Praktek liberalisasi memang telah banyak di lakukan dibeberapa negara seperti negara-negara kawasan Eropa yang memang ini adalah prasyarat untuk masuk menjadi anggota Uni Eropa, di Amerika Selatan dan Afrika yang memang prasyarat untuk bantuan hutang, kemudian di Jepang, Filipina, Australia, Amerika serikat, dan tentu pula Inggris yang menjadi pelopor liberalisasi kelistrikan I tahun 1990, dan beberapa negara lainnya. Beberapa di antara mereka melakukan liberalisasi 100% dari hulu ke hilir (mulai dari PEMBANGKIT, TRANSMISI, sd DISTRIBUSI) seperti yang terjadi di Inggris, Australia. Sedangkan beberapa negara hanya melakukan beberapa % saja, misalkan hanya di hulunya saja (PEMBANGKIT, TRANSMISI). Dan tentunya tidak semuanya memberikan hasil yang memuaskan, bahkan yang paling menakutkan adalah berpindahnya praktek monopoli dari pemerintah ke swasta, ini tentunya sangat membahayakan.
Lalu apakah Indonesia saat ini sudah mengarahkan diri ke sana? Jika meninjau kebijakan-kebijakan baru pemerintah terkait:
- Pemberian 74 proyek kepada IPP (Independent Power Producer), dari total 109 proyek yang akan dilaksanakan untuk program 35.000MW
- Wacana tentang lease backpembangkit yang masuk dalam FTP (Fast Track Programme) 10.000MW beberapa tahun lalu, kepada Cina yang merupakan kontraktor yang membangunnya.
bisa dikatakan merupakan sinyal mulai dibukanya pintu untuk pihak swasta untuk turut bermain pada aras hulu industri kelistrikan di Indonesia. Sisi positif dari kebijakan ini adalah :
- Terbantunya pemerintah dalam mewujukan program 35.000MW. dengan melibatkan IPP tersebut maka cukup meringankan pemerintah di dalam pelaksanaan program, mengingat dana investasi yang dibutuhkan untuk program ini sangatlah besar yang sangat sulit untuk di cover oleh pemerintah secara keseluruhan.
- Terkait wacana Lease back, sisi positif dari alternatif ini adalah : memperlancar pelaksanaan proyek 10.000MW yang tidak sesuai harapan dikarenakan pembangkit-pembangkit buatan Cina yang kurang baik mutunya, sehingga kapasitas listrik yang dihasilkan tidak sesuai target, sehingga pihak Cina harus bertanggung jawab atas hal ini. Selain itu Pemerintah bisa mendapat dana tunai dari LeaseBack yang bisa dialokasikan untuk program 35.000MW. Dan yang terakhir aset akan tetap menjadi milik bangsa, karena pada jangka waktu tertentu aset akan dikembalikan ke Indonesia.
Namun selain sisi positif, hal yang perlu diwaspadai adalah :
- Terbukanya kesempatan bagi para pemain swasta untuk ikut andil dalam membentuk harga. Dan harga yang terbentuk untuk sebuah produk yang vital seperti listrik akan memunculkan efek berantai seperti : meningkatnya harga (inflasi), pertumbuhan ekonomi terganggu, melemahnya daya beli masyarakat, dll.
- Masalah penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) juga perlu dicermati, para putra bangsa yang terdidik dan kompeten di bidang kelistrikan harus tetap menjadi raja di negara sendiri. Jangan sampai mereka menjadi asing di negaranya sendiri.
- Untuk wacana Lease Back , pada periode dimana leasing akan berakhir, aset yang kembali ke Indonesia nilai ekonomisnya sudah berkurang.
Maka dari itu untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk yang ada, maka perlu bagi pemerintah untuk mengantisipasinya dalam bentuk regulasi yang cermat, dan juga kuat yang mampu memberikan posisi yang aman terhadap apapun yang berhubungan dengan kelistrikan di Inonesia baik itu terkait harga, ketersediaan pasokan, keterlibatan putra bangsa, dll. Paul L Joskow dalam jurnalnya yang berjudul “Lessons Learned From Electricity Market Liberalization” menyarankan bahwa dalam liberalisasi kelistrikan perlu ada : design restrukturisasi, design kompetisi, design pasar (wholesale an retail market) yang jelas, serta regulatory reform.