Mengapa manusia bisa menyebabkan begitu banyak kerusakan terhadap alam tanpa disadari bahwa sepenuhnya hidup manusia sangat bergantung pada unsur biosfer yang hidup? Seiring dengan berjalan nya waktu, ketersediaan sumber daya alam yang digunakan oleh manusia semakin menipis dan tidak bisa digantikan dengan artificial capital secara terus menerus. Krisis iklim dengan suhu bumi yang semakin meningkat, bencana alam yang diakibatkan oleh perilaku manusia, serta mencairnya gunung es telah menjadi perhatian banyak kalangan dimulai dari para pemangku kebijakan, ahli ekonomi, aktivis, civil society organisation, hingga masyarakat umum.
Menurut Fremaux dalam buku nya Environmental Politics and Theory, mengungkapkan bahwa masih banyak individu yang menganggap bahwa sumber daya alam kita masih sangat melimpah atau jika habis bisa digantikan dengan substitusi yang kuat ini  dipengaruhi oleh warisan dari awal abad kesembilan belas, ketika aktivitas ekonomi masih kecil dibandingkan dengan kekayaan alam yang diregenerasi setiap tahun. Tentu saja pemikiran tersebut sudah sangat tidak relevan untuk diaplikasikan pada dewasa ini. Krisis ekologis yang sudah disinggung sebelumnya telah menunjukkan kerentanan alam---dan masyarakat---dalam banyak hal, dan karenanya memerlukan ekonomi ekologis baru serta cara hidup baru yang berkelanjutan dalam berbagai aspek, serta mendukung pertumbuhan ekonomi (Fremaux, 2019).
Apakah memungkinkan untuk melahirkan sebuah sistem yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan manifestasi pembangunan berkelanjutan tetapi bisa jalan beriringan dengan keberlangsungan lingkungan? Teori ekonomi politik hijau adalah jawabannya. Ekonomi politik hijau bersifat politis, kritis, dan preskriptif, yang memandang ekonomi dan bagaimana kita memikirkannya sebagai tempat konflik dan permainan kekuasaan. Ekonom politik hijau berpendapat bahwa kita harus mengevaluasi dan menilai pilihan sumber daya kita tidak hanya dalam hal keuntungan dan uang, tetapi juga dalam hal seberapa banyak sumber daya alam yang dikembalikan pada sumber daya alam yang diinvestasikan (Barry & Doran, 2006).
Ekonomi politik hijau merupakan manifestasi dari pendekatan ekonomi politik marxisme, yang beranggapan bahwa kapitalisme merupakan sebuah konsep destruktif bagi alam dan kemanusiaan. Para Marxis kontemporer menyatakan bahwa tatanan sosial kapitalisme secara intrinsik anti-ekologis dikarenakan secara sistematis sudah mensubordinasikan alam dalam usahanya mencari akumulasi dan produksi tak terbatas pada dimensi yang semakin besar (Liodakis, 2010). Dialektika ekonomi politik hijau tidak hanya memprihatinkan kerusakan yang terjadi akibat eksploitasi berlebih untuk mendapatkan keuntungan, tetapi juga membawa aspek kelompok marginal yang dirugikan yang menjadi dampak krisis iklim tersebut.
Pembangunan Berkelanjutan dengan Definisi Subjektif yang Rentan Menjadi Alat Politik
Mengutip pernyataan Menteri Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya Bakar melalui akun media sosial Twitter nya yang berargumen bahwa "Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi." Apakah memungkinkan ada nya suatu sistem yang mendorong pembangunan tetapi tetap ramah lingkungan?
Dengan kekhawatiran yang berkembang mengenai dampak dari krisis iklim, serta kesadaran ekologis yang meningkat telah memicu pergerakan lingkungan yang melahirkan banyak literatur dan analisis teoritis serta implementasi kebijakan untuk memastikan pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan. Dalam dewasa ini, setiap sistem sosial ekonomi harus memprioritaskan keberlanjutan. Dengan kata lain, setiap masyarakat harus berhati-hati untuk menjamin bahwa kondisi reproduksi dan kelangsungan hidupnya terpenuhi. Sebagai prasyarat untuk reproduksi dan kelangsungan hidupnya, kondisi ekologi keberlanjutan harus menjadi prioritas utama (Liodakis, 2010).
Dalam menentukan definisi konkret mengenai apa itu berkelanjutan, atau yang sering disangkutpautkan dengan pembangunan berkelanjutan, sebenarnya tidak ada definisi universal yang disetujui dalam mengartikulasikan "berkelanjutan". Sehingga, kata tersebut diartikan secara subjektif oleh berbagai pihak. Akibatnya, gagasan pembangunan berkelanjutan yang dianut secara luas telah memicu perselisihan panjang dan kontroversial tentang dasar teoritis dan kebijakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut. Tantangan ekstensif dari kepercayaan yang dipegang secara luas ini telah ditangani baik dari mainstream liberal dan perspektif yang lebih radikal atau Marxis.
Dryzek dalam Refining Green Political Economy menggambarkan pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah diskursus dibandingkan sebuah konsep yang dapat atau harus didefinisikan dengan presisi apapun. Meskipun demikian, dalam era kontemporer definisi pembangunan berkelanjutan banyak dikutip dari pernyataan Brundtland Report yang mengartikan bahwa "Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri".
Lebih lanjut membongkar istilah keberlanjutan, terdapat pertanyaan krusial dan kritis mengenai lingkungan seperti apa yang harus dipertahankan, bagaimana cara melestarikannya, dan untuk kepentingan siapa? Liodakis dalam tulisannya di Political Economy, Capitalism, and Sustainability menggambarkan keberlanjutan sebagai bentuk perlawanan atau katalisator perubahan sosial. Gambaran umum keberlanjutan juga merupakan irisan dari tiga aspek yaitu kemakmuran ekonomi, kesetaraan sosial, serta integritas lingkungan.
Setiap individu memiliki definisi yang berbeda mengenai pembangunan berkelanjutan, oleh sebab itu, banyak celah yang dimanfaatkan baik oleh pihak swasta dan publik dalam menyelewengkan konsepsi dari "berkelanjutan" itu sendiri. Istilah greenwashing ataupun sustainababble sangat populer untuk melabelisasi informasi yang menyesatkan mengenai berkelanjutan yang mana banyak sektor berlomba - lomba untuk terlihat relevan dan terkesan peduli terhadap lingkungan.