Penulis : Putri Endriana (Mahasiswa S1 FISIP Universitas Airlangga)
Dewasa ini masyarakat dan media sosial selalui ramai dengan pembahasan mental health. Berbagai platform seperti youtube, tiktok, spotify banyak membahas mengenai kesehatan mental. Padahal dahulu orang-orang yang memiliki gangguan mental selalu dipandang sebelah mata. Datang ke psikolog selalu dikaitkan dengan orang gila. Kendati demikian, beberapa tahun terakhir masyarakat mulai menyadari mengenai gangguan mental bukan hanya depresi saja. Masyarakat mulai menyadari mengenai pentingnya kesehatan mental. Banyak istilah-istilah dalam kesehatan mental yang mulai dikenal dikalangan masyarakat terutama anak muda, seperti gangguan kecemasan/anxiety, bipolar, PTSD (post traumatic stress disorder) dan sebagainya.
Menurut penelitian, usia remaja merupakan usia yang berpotensi besar mengalami gangguan kesehatan mental. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut emosi seseorang sedang naik-turun atau tidak stabil. Selain itu, pada usia tersebut merupakan usia peralihan dari kehidupan anak-anak menuju dewasa, dimana banyak sekali mengalami perubahan yang terjadi dalam hidup atau sering didengar dengan istilah sedang mencari jati diri.
Kesadaran masyarakat mengenai kesehatan mental tentu sangat penting dan dapat memberi dampak positif. Namun, dengan canggihnya teknologi sekarang dan cepatnya berbagai informasi yang tersebar, orang-orang menjadi mendiagnosis dirinya sendiri atau melakukan self-diagnosis. Kesehatan mental ini seperti diromantisasikan. Banyak yang mengaku-ngaku memiliki gangguan kesehatan mental hanya untuk mengikuti trend yang ada. Ketika seseorang mencari di internet mengenai gangguan kesehatan yang ia rasakan dan yang muncul adalah penyakit yang jauh lebih parah, atau misalnya ketika seseorang mencari ciri-ciri seseorang yang memiliki anxiety disorder dan ia samakan dengan gejala yang ia rasakan. Kemudian kesamaan itu menjadikan seseorang melebeli dirinya dengan suatu penyakit tertentu, dalam contoh ini anxiety disorder, hal ini tentu saja salah salah kaprah. Karena ketika seseorang melebeli dirinya, maka alam bawah sadar atau otak akan merespons hal tersebut dan menyebabkan tingkat ketakutan atau kecemasan meningkat. Selain itu, seseorang menjadi tidak mampu menilai dirinya sendiri secara objektif dan dapat melukai perasaan orang lain apabila yang diberitahu ternyata memiliki gangguan kesehatan mental yang disebutkan. Ketika merasakan gejala yang tidak normal seharusnya seseorang tersebut pergi kedokter dan melakukan konsultasi atau pemeriksaan, karena yang berhak memberi diagnosis adalah orang yang profesional dalam bidangnya.
Kesehatan mental dan self-diagnosis seperti pisau bermata dua. Semakin banyak informasi yang didapat mengenai kesehatan mental disatu sisi dapat menjadikan banyak orang semakin aware, namun disisi lain menyebabkan ketakutan berlebih terhadap sesuatu. Self-diagnosis terhadap kesehatan mental juga dapat menyebabkan banyak orang yang akhirnya tidak mau atau tidak semangat melakukan sesuatu sehingga hanya berdiam diri dan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Perasaan atau emosi yang dirasakan harus dibagikan kepada seseorang, tidak boleh dipendam sendiri hingga menumpuk. Seseorang tersebut dapat bercerita kepada keluarga atau temannya. Ketika ada seseorang yang berbicara mengenai kesehatan mental dan masalah yang ia alami, lalu sebagai pendengar kita tidak boleh meremehkan hal tersebut begitu saja. Tingkat rasa sakit, ketakutan, kuat tidaknya antar satu orang dengan yang lainnya tentu berbeda, tidak boleh di sama ratakan. Sebagai pendengar kita dapat menyakinkan orang tersebut bahwa ia tidak sendiri, kita juga dapat memberi saran terdahap masalahnya. Namun, kita juga dapat memberikan saran untuk mendatangi orang yang jauh lebih profesional seperti psikolog, untuk membantu mengatasi masalah mental yang dihadapi seseorang tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H