Konsep pertanggungjawaban menjadi dasar untuk menentukan ganti rugi, dan dalam konsep ini menjelaskan tindakan apa yang dilakukan dalam masalah sebagai batas tanggung jawab. Pengertian tanggung jawab dibagi menjadi tiga jenis yaitu, tanggung jawab terkait dengan pertanggungjawaban terkait keuangan, tanggung jawab terkait dengan kewajiban untuk mengurus segala sesuatu yang terjadi, dan tanggung jawab terkait dengan semua kerugian karena tindakan atau perbuatannya. Perbuatan orang lain yang bertindak atas namanya (Sudiro, 2011).
Pasal 146 UUP juga mencakup keterlambatan, dan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita akibat keterlambatan pengangkutan penumpang, kargo atau barang bawaan bagasi, kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh faktor cuaca dan operasional.
Dilihat dari tanggung jawab di atas, maskapai penerbangan wajib memberikan hak penundaan kepada penumpang, sehingga maskapai penerbangan harus melakukan upaya. Menurut Menkominfo No. 77 tahun 2009 Butir a, upaya maskapai tentang besaran ganti rugi bagi penumpang yang mengalami keterlambatan penerbangan, dan Menkominfo No. 89 tahun 2015, Pasal 3 tentang ganti rugi dibayarkan. Disediakan oleh maskapai kepada penumpang sesuai dengan waktu tunda. Dari segi kewajiban maskapai atas ganti rugi keterlambatan, dari segi UUPK konsumen seringkali tidak jelas ketika menerima informasi keterlambatan yang tidak sesuai dengan asas keadilan yang didalamnya memuat kewajiban maskapai penerbangan untuk tidak memberikan kepada konsumen dengan pelayanan yang tepat dan benar. jujur.
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan peraturan pelaksanaannya, keterlambatan harus dikompensasikan sampai keterlambatan tersebut disebabkan oleh kesalahan operator tetapi operator juga dapat dibebaskan dari tanggung jawab apabila keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor eksternal.atau hal – hal diluar kekuasaan manusia (force majeure).
Dengan demikian, setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha atau melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Penumpang maskapai sebagai konsumen yang merasa dirugikan oleh maskapai sebagai pelaku bisnis dapat mengajukan gugatan. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi).
Mengenai penyelesaian sengketa melalui pengadilan diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45”
Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa terjadinya keterlambatan penerbangan merupakan salah satu hal yang merugikan penumpang sebagai konsumen dari segi materi maupun non materi, apalagi jika sudah memenuhi haknya sebagai penumpang tetapi tidak terpenuhinya kewajiban pelaku usaha sebagai maskapai atas segala kelalaian dan penyampaian informasi keterlambatan yang tidak jelas atau kurang tepat.
Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap konsumen sangat penting untuk meningkatkan kedudukan konsumen dan pelaku usaha menjadi lebih seimbang. Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen pengguna angkutan udara ini lebih tepat secara keperdataan karena adanya unsur partisipatif dan karena adanya kesepakatan bahwa semua pihak yang dirugikan akibat kelalaian maskapai harus mempertanggungjawabkan dan mencari penyelesaiannya. Keterlambatan dan penundaan diharapakan dapat ditangani sesuai dengan kondisi penerbangan, termasuk UUPK.
Konsep praduga tanggung jawab berlaku untuk perlindungan hukum penumpang udara karena tanggung jawab maskapai terhadap penumpang udara menyebabkan keterlambatan penerbangan. Maskapai harus mengganti kerugian atas keterlambatan penerbangan dan kerugian yang dialami penumpang sebagai konsumen pengguna jasa angkutan udara.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tanggung Jawab Pengangkut. Angkutan Udara mengatur tentang perlindungan hukum penumpang udara sebagai konsumen dan aturan tentang ganti rugi bagi penumpang yang mengalami kerugian. Peraturan Menteri Perhubungan dan Komunikasi Udara Nomor 89 Tahun 2015 tentang Penanganan Keterlambatan Penerbangan yang Dibuktikan dengan Tiket pesawat.
Upaya yang dapat dilakukan bagi penumpang maskapai yang mengalami kerugian dapat dilakukan terhadap pihak maskapai atau tuntutan hukum dengan menlayangkan somasi terlebih dahulu, dan apabila maskapai mengabaikan somasi yang diajukan oleh penumpang maskapai, maka penumpang dapat menempuh jalur hukum. Atau sengketa yang dapat diselesaikan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur pengadilan dan non pengadilan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengakui kedua jenis penyelesaian sengketa tersebut. Dan Konsumen bebas memilih jalur penyelesaian sengketanya.