PELEMAHAN NILAI TUKAR RUPIAH TERHADAP DOLAS AS
Masalah/Isu
Pada perdagangan 28 Juni 2024, rupiah dibuka pada level (bid) Rp16.410 per dolar Amerika Serikat (AS). Pada akhir perdagangan, rupiah menguat 35 poin atau 0,21% menjadi Rp16.375 per dolar AS. Menteri Keuangan (Menkeu) mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah, yang terjadi sejak April 2024, dipengaruhi oleh kekecewaan pasar terhadap kondisi perekonomian global.Â
Menurut Gubernur Bank Indonesia (BI), faktor utama pelemahan kurs rupiah adalah Fed Fund Rate (FFR) yang tidak dapat diprediksi dan kenaikan suku bunga obligasi pemerintahan AS sebesar 4,5% hingga 6%.
 Selain itu, kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) menurunkan suku bunga telah menyebabkan sentimen global yang berdampak pada pelemahan nilai tukar. Faktor kedua, adanya sentimen domestik. Pada Triwulan II yang akan berakhir pada Bulan Juni, terjadi kenaikan permintaan terhadap dolar AS oleh korporat.Â
Pada Triwulan II ini, korporasi biasanya melakukan repatriasi dividen dan membayar utang. Faktor ketiga, masalah persepsi sustainabilitas fiskal ke depan. Menurut Arianto, pengamat perbankan dan praktisi sistem pembayaran, proyeksi rupiah bisa menembus Rp17.000 per dolar AS. Hal ini menjadi skenario terburuk akibat kebijakan suku bunga di AS, tingkat permintaan pasar ekspor Indonesia, dan ketidakpastian global.
 Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengindikasikan bahwa nilai rupiah mengalami penurunan relatif terhadap dolar. Ini berarti bahwa untuk mendapatkan satu dolar AS, diperlukan jumlah rupiah yang lebih besar dibandingkan sebelumnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelemahan ini bisa berupa kondisi ekonomi global, kebijakan moneter di Amerika Serikat seperti kenaikan suku bunga, hingga permintaan yang lebih tinggi terhadap dolar sebagai mata uang cadangan global.Â
Pelemahan rupiah ini juga dapat berdampak pada sektor impor yang menjadi lebih mahal, mempengaruhi biaya produksi, dan berpotensi meningkatkan harga barang di dalam negeri. Sebelumnya, pasar memprediksi FFR akan mengalami penurunan sebanyak empat hingga lima kali pada tahun ini. Namun, hingga sejauh ini, FFR masih stabil pada posisi 5,5% dan tidak menunjukkan tanda akan turun.Â
Rupiah telah mengalami depresiasi sebesar 6,58%, demikian juga dengan nilai tukar sejumlah negara berkembang lainnya. Namun, menurut Menkeu, pelemahan nilai tukar rupiah masih lebih baik dibandingkan dengan Brasil dan Jepang yang menunjukkan pelemahan jauh lebih dalam. BI berkepentingan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan karena terkait dengan fungsi Lender of Last Resort (LoLR), yaitu otoritas yang berwenang menyediakan likuiditas pada saat krisis.Â
Gubernur BI menegaskan komitmennya untuk terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dengan mengoptimalkan seluruh instrument moneter, yaitu: 1) Melakukan intervensi dengan menggunakan cadangan devisa, yang saat ini diposisi USD139 miliar; 2) Di bawah koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), BI mempertahankan stabilitas Surat Berharga Negara (SBN) dengan membelinya dari pasar sekunder; 3) Memanfaatkan instrumen jangka pendek yaitu Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) guna menarik arus masuk valuta asing dan mengurangi arus keluar; 4) Terus berkoordinasi dengan pemerintah terkait Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA), dari total penerimaan DHE SDA sebesar Rp13 miliar, Rp3,9 miliar di antaranya disalurkan ke BI.
Dampak