Â
  Kaina, seorang gadis feminim yang terkenal di sekolahnya, adalah hasil campuran Aceh dan Makassar. Hidup di negara asing bukanlah hal yang mudah baginya. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, yang semuanya laki-laki, ia tumbuh manja, terbiasa diperlakukan bak anak kecil oleh kakak-kakaknya. Namun, setelah kedua kakaknya menikah, orang tuanya mulai mendidiknya agar lebih mandiri.Â
Salah satu keputusan besar yang harus ia hadapi adalah melanjutkan sekolah menengah atas di luar negeri, tepatnya di Paris, Prancis, yang dikenal dengan Menara Eiffel dan suasana romantisnya. Meskipun terdengar indah, kehidupan jauh dari keluarga ternyata tidak seasyik yang dibayangkan. Di apartemennya yang baru di Paris, Kaina merasa kesepian. Keesokan harinya, dia harus bersiap-siap untuk sekolah barunya, yang disebut-sebut sebagai sekolah elit oleh wali kelasnya di Indonesia.
  Saat tiba di sekolah barunya, dengan kemampuan bahasa Prancis Kiana yang memupuni, ia disambut oleh seorang guru yang menuntunnya menuju ruang kepala sekolah memakai Bahasa Perancis. Di dalam ruang kepala sekolah, yang dipenuhi ornamen khas Eropa, Kaina terpana akan keindahan ruangan tersebut, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa kepala sekolah sudah berbicara kepadanya. Ketika akhirnya Kaina menyadari, kepala sekolah hanya terkekeh melihat tingkahnya.
"Maaf, Bu, saya tidak sadar Ibu sudah berbicara sejak tadi," ujar Kaina malu-malu.
"Tidak apa-apa, kamu lucu sekali," jawab sang kepala sekolah sambil tersenyum.
Saat mereka berbicara, seorang siswa laki-laki dengan perawakan khas Prancis tiba-tiba masuk. Wajahnya tampak tenang, dan dia melangkah mendekat tanpa banyak bicara. Namanya Eugene. Sang kepala sekolah lalu memperkenalkan Eugene sebagai teman sekelas Kaina yang akan membantunya beradaptasi di sekolah. Kaina merasa canggung karena Eugene hanya membisu dan menunjukkan sikap dingin. Saat mereka berjalan berdua menyusuri lorong menuju kelas, suasana terasa sangat sunyi. Kaina hanya bisa menatap lantai, berusaha menghindari tatapan dingin Eugene yang membuatnya merasa tidak nyaman. Sesampainya di kelas, Eugene membukakan pintu untuk Kaina, namun tetap tanpa sepatah kata pun. Kaina, yang belum pernah diperlakukan seperti seorang putri, merasa aneh dengan perlakuan Eugene. Ia memperkenalkan dirinya kepada teman-teman sekelas memakai bahasa Prancis dengan lancar, dan mendapatkan sambutan hangat dari teman-temannya. Namun, tatapan dingin Eugene tetap tak berubah.
Setelah duduk di samping Eugene---tempat duduk yang disediakan untuknya---Kaina mencoba memulai percakapan.
"Hai, aku Kaina," ucapnya pelan, berharap bisa mencairkan suasana. Namun, Eugene hanya menatapnya sekilas, tanpa senyum, tanpa respon berarti. Dalam hati, Kaina merasa terganggu. "Kenapa aku harus duduk di sebelah orang yang tidak ramah ini?" pikirnya sambil menahan perasaan kesal.
 Waktu berlalu, dan meskipun pertemuan pertama mereka dingin, hubungan antara Kaina dan Eugene perlahan berubah. Kedekatan mulai terjalin, dan mereka sering menghabiskan waktu bersama. Dari awal yang penuh keheningan, mereka kini tak terpisahkan. Eugene, yang dulunya tampak dingin, mulai menunjukkan sisi lain dari dirinya---seseorang yang hangat dan perhatian. Siapa sangka dari musuh yang tidak akrab, mereka menjadi sahabat dekat yang saling mendukung dalam suka dan duka.Kedekatan antara Kaina dan Eugene semakin erat. Mereka selalu menghabiskan waktu berdua, dan hal-hal kecil pun mereka ubah menjadi kenangan manis. Hingga hari yang tidak terduga pun tiba. Eugene merasakan bahwa hubungan mereka harus lebih dari sekadar sahabat. Namun, selama tiga tahun berteman, Kaina belum pernah menceritakan kepada Eugene bahwa mereka berbeda keyakinan. Eugene memiliki tekad kuat dan belajar banyak tentang Indonesia dari Kaina selama tiga tahun tersebut.
  Saat Eugene menyatakan perasaannya, Kaina tanpa ragu mengiyakan, tanpa memikirkan masa depan mereka. Awal dari hubungan mereka terasa indah. Kaina diperkenalkan kepada keluarga Eugene, yang sangat menerima kehadirannya. Keluarga Eugene bahkan penasaran dengan Indonesia, dan mereka berdua menjalani hubungan yang hangat dan penuh kebahagiaan. Namun, saat Kaina bertemu kembali dengan sahabat lamanya, ia tersadar akan kenyataan hubungan mereka. Sahabatnya bertanya apakah orang tua Kaina tahu tentang Eugene, dan Kaina terdiam. Di malam yang sama, Kaina memberanikan diri bertanya kepada Eugene apakah dia menyadari perbedaan agama mereka. Eugene menjawab dengan lembut, mengatakan bahwa ia tahu dari cara Kaina bersyukur.