Mohon tunggu...
Putri DellaPuspita
Putri DellaPuspita Mohon Tunggu... Mahasiswa

Konten tentang pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perbedaan Penentuan Awal Bulan Syawal 1444 Hijriyah

26 Mei 2023   17:08 Diperbarui: 26 Mei 2023   17:14 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir-akhir ini ramai sekali menjadi bahan perbincangan masyarakat Indonesia mengenai perbedaan penentuan 1 Syawal 1444 Hijriyah. Penentuan awal bulan dalam penanggalan Hijriyah seperti bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah memiliki kemungkinan besar terdapat perbedaan. Kasus perbedaan seperti ini bagi masyarakat muslim di Indonesia bukanlah menjadi suatu hal yang baru lagi, namun sudah terjadi secara berulang kali dari tahun ke tahun. 

Pada tahun lalu terjadi perbedaan awal bulan Ramadhan atau awal mulai ibadah puasa ramadhan dan pada tahun ini terjadi perbedaan pada penentuan awal bulan Syawal. Hal ini dikarenakan metode yang digunakan untuk menentukan berbeda. Masing-masing Organisasi Islam terbesar di Indonesian seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) mempunyai metode masing-masing untuk menentukan 1 Syawal atau Hari Raya.

Muhammadiyah menetapkan bahwa tanggal 1 Ramadhan 1444 Hijriyah atau awal dimulainya puasa Ramadhan jatuh pada Hari Kamis, 23 Maret 2023, dan 1 Syawal 1444 Hijriyah atau Hari Raya Idul Fitri pada Hari Jum'at, 21 April 2023. Keputusan ini ditetapkan sesuai dengan hisab awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1444 Hijriyah yang dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Sedangkan pemerintah dan Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan bahwa 1 Syawal 1444 Hijriyah atau Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Hari Sabtu, 22 April 2023. Yang ditetapkan berdasarkan hasil sidang itsbat yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) di kantor Kementerian Agama Jakarta Pusat pada Hari Kamis, 20 April 2023. Sidang ini dipimpin oleh Bapak Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan dihadiri oleh pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Komisi VIII DPR, dan organisasi-organisasi masyarakat (ormas) islam. Dalam menetapkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab wujudul hilal. 

Dan Nahdlatul Ulama (NU) menetapkan berdasarkan metode imkan rukyat. Berdasarkan perhitungan ilmu astronomi posisi ketinggian hilal pada tanggal 29 Ramadhan 1444 Hijriyah berada pada 1 sampai 2 derajat sudah di atas ufuk saat matahari terbenam. Tetapi masih di bawah kriteria minimal imkanur rukyah atau kemungkinan hilal dapat terlihat yaitu 3 derajat. Sedangkan Muhammadiyah jika 0,5 derajat sudah dikatakan hilal. Maka disini yang menjadi perbedaan metode antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). 

Dalam penentuan awal bulan Syawal 1444 Hijriyah sebaiknya menunggu hasil penetapan yang dilakukan oleh Pemerintah yang dilakukan dengan sidang itsbat yang diikuti oleh perwakilan organisasi-organisasi masyarakat (ormas) Islam, para ahli di bidang astronomi dan falak, serta juga dengan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). 

Dalam menyikapi perbedaan tersebut, sebagian masyarakat kebingungan bahwa Hari Jum'at masih tetap puasa atau tidak. Padahal tidak boleh berpuasa di Hari Raya atau jika sudah mendengar saudara yang sudah mengumandangkan takbir. Kemudian untuk menyikapinya maka berdasarkan penjelasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bagi yang menggunakan ijtihad dengan berpatokan wujudul hilal dan bagi yang meyakini serta mengikuti pandangan bahwa Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Hari Jum'at, maka Ia tidak boleh berpuasa. Karena dia akan melaksanakan shalat Idul Fitri pada Hari itu. Sedangkan bagi yang menggunakan ijtihad dengan berpatokan pada rukyat atau hisab imkanur rukyat dengan kriteria ketinggian hilal 3 derajat, dan bagi yang meyakini serta mengikuti pandangan bahwa Hari Raya Idul Fitri jatuh hari pada Hari Sabtu, maka dia tetap berpuasa pada Hari Jumat. Hal ini dikarenakan shalat Idul Fitri baru akan dilaksanakannya pada Hari Sabtu dan dia baru tidak boleh berpuasa pada hari tersebut. Jadi siapapun yang mendahului itu tidak membatalkan orang yang meyakini Idul Fitri hari berikutnya. 

Kali ini masih terdapat beberapa masyarakat yang meyakini 1 Syawal 1444 Hijriyah atau Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Hari Sabtu tetapi pada Hari Jum'at sudah tidak berpuasa karena mereka berfikir bahwa sudah tidak boleh berpuasa lagi ketika sudah ada yang mengumandangkan takbir. Yang penting puasanya maksimal 30 hari dan tidak boleh lebih. 

Pada umumnya memang penentuan puasa dilakukan selama 29 hari atau 30 hari. Jika hilal masih tertutup atau belum nampak maka pemerintah biasanya menyempurnakan menjadi 30 hari. Namun jika pemerintah menambah sampai 31 hari maka jangan diikuti, karena tidak boleh lebih dari 30 hari berpuasa. Selain itu ada pula ditemui pada masyarakat awam yang melakukan sholat Idul Fitri dua kali pada Hari Jum'at dan Hari Sabtu karena mereka mengikuti tokoh masyarakat yang biasa menjadi panutan mereka, tetapi tokoh tersebut tidak mengikuti pemerintah dan melakukan sholat Idul Fitri pada Hari Jum'at. Maka mereka tidak merasa yakin akhirnya mengikuti sholat Idul Fitri lagi pada hari Sabtu. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki sehingga bingung. Dengan hal ini, Direktur Urusan Agama dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama (Kemenag) bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan penjelasan bahwa tidak diperbolehkan atau diharamkan melaksanakan sholat Idul Fitri dua kali. Oleh karena itu sebaiknya umat islam wajib memilih waktu pelaksanaan sholat Idul Fitri yang sesuai dengan keyakinannya. Jadi tidak diperbolehkan melaksanakan sholat dua kali atas dasar toleransi.  

Pada suatu daerah masyarakat sampai mencela tokoh masyarakat yang katanya dirinya mengikuti Nahdlatul Ulama (NU) dan sering berkecimpung dalam kegiatan dan organisasi dibawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) tetapi mengikuti sholat Idul Fitri pada Hari Jum'at. Mereka menganggap bahwa tokoh tersebut tidak mempunyai pendirian. Padahal dia dianut atau dipercaya oleh masyarakat yang latar belakangnya mengikuti Nahdlatul Ulama (NU). Majelis Ulama Indonesia (MUI) menghimbau kepada seluruh umat Islam untuk menyikapi perbedaan tersebut dengan sikap toleransi dan saling menghargai. Dan kembali kepada keyakinan masing-masing tanpa mengusik keyakinan orang lain bahkan sampai timbul perselisihan. Jangan jadikan perbedaan ini menjadi suatu masalah selama masih melakukan puasa 29 hari atau 30 hari maka tidak melanggar sunnahnya Nabi Muhammad SAW. Ikutilah sesuai dengan keyakinan masing-masing dan jangan sampai terjadi perselisihan. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun