Mohon tunggu...
Putri SB Bara
Putri SB Bara Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar

Pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Suku Lio di Desa Renggarasi

31 Mei 2024   15:35 Diperbarui: 31 Mei 2024   17:06 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wati besar dan wati kecil (dok. pribadi)

Wolojita adalah kampung kecil yang terletak di punggung bukit Jita. Kenapa namanya Jita? Menurut asal katanya, Wolojita berasal dari bahasa Lio, dari kata 'Wolo' yang berarti bukit dan 'Jita' yang berarti pohon Pule. Jadi Wolojita adalah kampung yang terletak di punggung sebuah bukit yang banyak ditumbuhi pohon Pule. Kampung Wolojita letaknya miring atau menurun dan menghadap ke arah timur.
Berdasarkan letak wilayahnya, kampung Wolojita merupakan bagian dari Desa Loke, salah satu desa di kecamatan Tanawawo, kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur. Perlu diketahui bahwa listrik baru masuk di kecamatan Tanawawo pada tahun 2017, sedangkan jaringan internet baru dapat diakses pada tahun 2021.

Kampung Wolojita dan Sekitarnya Pada Tahun 1988

Pada tahun 1988, di kampung ini akses air bersihnya masih sangat sulit. Di ujung atas kampung terdapat bak air bersih. Kadang-kadang airnya mengalir kadang-kadang tidak mengalir. Kalau air tidak mengalir, penduduk mengambilnya di mata air di lembah sebelah selatan Bukit Pohon Pule (Bahasa Lio: Wolojita).
Penduduk kampung menggali 2 lubang sebesar nyiru di tanah yang muncul air. Di situlah tempat mereka mandi, mencuci baju dan kadang mereka mengambilnya untuk diminum dan untuk memasak. Penduduk setempat menggunakan ruas bambu sebagai wadah untuk mengambil air, nama wadah itu dalam bahasa Lio adalah Po'o.

Di sebelah selatan kampung Wolojita ada tiga kampung yaitu Nuandolu, Ledalale dan Woloroso.
Sebelum masuk kampung Nuandolu ada sebuah kampung kecil bernama Kangagawi yang dulunya adalah tempat tinggal penduduk namun karena ada wabah maka semua penduduknya pindah ke kampung Nuandolu. Kampung Wolojita, Nuandolu, Ledalale dan Wolorosa saling berdekatan satu sama lain dan lebih ke arah selatan lagi ada lembah Logepodo dan kalinya. Daerah di sepanjang aliran kali ada pula kampung-kampung yakni kampung Nuatol, Detumage, dan Lambalena.
Sebelah utara kampung wolojita ada kebun, sawah, kali dan hutan yang harus dilewati sebelum memasuki kampung Masedoa, Woloara dan Wolosoko
Disebelah barat Wolojita ada bukit-bukit, hutan dan kebun yang harus kita lewati sebelum masuk ke kampung-kampung berikutnya yakni kampung Ratesewa, Tubumuri dan Ratebito.
Di sebelah timur hanya ada hutan dan kebun serta bukit-bukit yang rendah dan bukit-bukit yang tinggi dan juga lembah dan kali. Keluarga-keluarga di kampung wolojita memiliki hubungan darah antara satu keluarga dengan keluarga yang lain.

Ada satu puskesmas kecil terletak di jalan sebelum Kampung Lambalena. Ada sebuah sekolah dasar di Kampung Detumage dan ada juga gereja di sebelah timur Kampung Detumage. Adapula pasar rakyat di sebelah barat kampung Detumage. Belum ada kecamatan Tanawawo waktu itu dan belum ada juga desa Loke sebab belum ada pemekaran desa. Kampung Wolojita termasuk Desa Renggarasi dan masuk dalam wilayah kecamatan Paga.

Pada tahun 1980-an, hampir semua rumah penduduk desa Renggarasi terbuat dari bambu dan beratap alang-alang. Mata pencaharian penduduk desa Renggarasi hampir semuanya bertani baik di ladang maupun di sawah. Namun adapula yang bertani sambil beternak kambing, babi juga sapi secara sederhana.
Hasil panen dari ladang dan sawah biasanya dijual di Pasar Detumage selain untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
Penduduk kampung menyimpan hasil panen mereka di sebuah rumah panggung kecil yang dalam bahasa setempat disebut kebo. Di 'kebo' inilah mereka menyimpan padi, jagung, kacang-kacangan, sorgum dan lain-lain.
Pada waktu itu belum ada penggilingan padi sehingga penduduk desa Renggarasi menumbuk padi dengan lesung dan alu sebelum ditanak. Ada yang menumbuk padi dan menapis dengan nyiru beramai-ramai atau berkelompok, ada pula  yang melakukannya sendiri jika padi yang ditumbuk hanya sedikit. Selain padi ada juga jewawut (bahasa Lio: Wete) dan Sorgum (bahasa Lio: Lolo) dan Mbape (sejenis biji-bijian yang kulitnya putih dan licin) yang ditumbuk menggunakan lesung dan alu sebelum dimasak.

Orang Lio yang mendiami desa Renggarasi memiliki keterampilan menganyam. Dulu, keterampilan menganyam tikar dan wadah-wadah beras, jagung dan lain sebagainya adalah keterampilan yang harus dimiliki oleh perempuan Lio di desa itu. Keterampilan ini diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. (Ada suku Lio yang memiliki keterampilan warisan menenun kain adat. Mereka tinggal di Mbuli, Nggela Kabupaten Ende Flores).

Adapun jenis-jenis wadah yang dibuat oleh perempuan suku Lio di desa Renggarasi antara lain:
1. Te'e atau tikar
2. Rombo (tas besar)
3. Kepe (tas kecil)
4. Kepe Nata (tempat sirih pinang)

5. Benga atau Anabenga (tempat menyimpan makanan)
6. Wati (wadah makanan kering)
Wati ada yang berukuran besar adapula yang berukuran kecil

Wati besar dan wati kecil (dok. pribadi)
Wati besar dan wati kecil (dok. pribadi)

Wati dapat dihias dengan daun lontar yang sudah diberi warna.
Wati kecil ini di hiasi dengan kulit bambu yang diberi pewarna dan ditusuk (bahasa lio: suki)
menjadi berbagai motif atau corak tergantung kreativitas)

Motif bintang (dok. pribadi)
Motif bintang (dok. pribadi)
7. Wati nata

Diantara wadah-wadah di atas ada yang dianyam dari daun pandan seperti tikar (te'e), tas besar (rombo) tas kecil (kepe), dan tas tempat sirih pinang (kepe nata). Adapula yang dianyam dari daun lontar seperti benga atau anabenga, wati dan wati nata.

Selain wadah-wadah anyaman tadi, penduduk desa Renggarasi juga membuat alat-alat tradisional buatan mereka sendiri untuk membantu pekerjaan mereka sehari-hari sebagai berikut:

1. Regu
Regu adalah alat yang terbuat dari kayu dan besi yang berbentuk seperti kuda-kudaan. Regu digunakan untuk memarut kelapa secara manual

Caranya:
Kelapa yang sudah dibersihkan sabutnya hingga tinggal tempurungnya saja kemudian dibelah dua lalu kita duduk pada bagian kayu sambil tangan kita memegang satu belahan kelapa kemudian bagian dalam yang ada daging kelapanya digosokkan pada bagian logam yang berbentuk seperti garpu bengkok.

Sketsa alat parut kelapa tradisional suku Lio (dok. pribadi)
Sketsa alat parut kelapa tradisional suku Lio (dok. pribadi)
2. Kaka
Kaka adalah alat yang digunakan untuk memecahkan cangkang kemiri. Kaka terbuat dari pangkal kulit daun pohon pinang (Mba'o) atau rotan yang dianyam sedemikian rupa sehingga ada bagian yang berbentuk seperti kepala dan harus pas dengan ukuran kemiri dan bagian ekor untuk pegangan. Setelah itu dipukulkan dengan keras pada batu yang permukaannya datar hingga cangkang kemiri terlepas.

Sketsa alat pemecah kemiri tradisional suku Lio (dok. pribadi)
Sketsa alat pemecah kemiri tradisional suku Lio (dok. pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun