Hujan lebat beberapa hari lalu, mengingatkanku akan masa kecil di Rerafate, di Desa Loke yang berbukit-bukit.
Kalau langit mulai mendung, tandanya pertunjukkan alam yang paling kusukai dimulai.
Cepat-cepat duduk dekat jendela sambil melihat ke arah Ledalale di punggung bukit sebelah.
Dimulai dengan perarakan kabut yang semakin lama memudarkan pemandangan Kampung Ledalale. Tadinya kampung itu terlihat seperti mengintip dari balik rimbunan pohon-pohon yang lebat.
Berikutnya hutan milik Bapak Rudolfus Rea dihadapan jendela pun ikut menjadi putih, putih dan putih, kabut.
"Selamat Datang Di Kampung Di Atas Awan!"
Hati kanak-kanakku waktu itu berpikir, "Kenapa setiap kali kalau mau hujan lebat, kabut-kabut ini turun ke bumi seperti sebuah selimut kapas raksasa yang hendak memeluk bukit-bukit desa? Mungkin hendak menciumi tanah pegunungan yang mulai gersang atau mungkin selimut kapas itu mau membelai daun-daun bersih sambil membisikkan 'sekarang kau tidak haus lagi, kan'". Â Senang sekali mendapat kunjungan dari awan-awan putih bersih ini.
Keesokannya, bangun pagi-pagi sebelum matahari, dan lihatlah, bersamaan dengan sinar pertamanya, "Tet Tet! Ini hadiahnya, 'sebuah pagi yang elok'." Kemanapun mata memandang, dedaunan hijau tua dan muda mengkilap, tunas-tunas baru menyembul ke permukaan tanah, udara pegunungan yang bersih, menyegarkan jiwa dan raga. Hadiah terindah dari Tuhan.
Kampung di atas awan, sebuah kenangan berharga yang sangat dirindukan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H