Kali ini tema “Sahabat” menjadi sedemikian menarik dalam benakku. Ide dan ispirasi semakin enari-nari dalam pikiranku hingga akhirnya kuputuskan menulis ini, “ Sahabat Kecilku, Kau Tak Akan Kulupa”.
Tulisan sederhana ini saya dedikasikan teruntuk mereka yang memberi warna di masa kecilku, teristimewa: Nova, Dewi, Lambok, dan Hanky.
Rabu, 9 April 2014 menjadi hari penting (lagi) untuk Indonesia, pesta demokrasi untuk memilih wakil rakyat tentunya. Mengingat bahwa 5 tahun silam saya masih belum cukup umur untuk menggunakan hak suara, maka ini kali pertama bagiku memberikan suara untuk negeri ini lewat Pemilihan Umum Calon Legislatif (DPRD, DPD, dan DPR).
Beberapa bulan sebelum hari-H, saya semakin begitu menaruh atensi lebih untuk mencermati setiap tayangan politik di media. Dari sini saya belajar banyak hal. Sebelumnya saya sangat apatis dan skeptis, bagiku politik itu tidak ada baiknya, persepsiku ketika mendengar kata ‘politik’ benar-benar negatif. Bahkan untuk ikut berpartisipasi menjadi WNI yang baik dengan memberikan suara benar-benar jauh dari pikiranku. Namun semua itu terpatahkan, saat saya mulai belajar memahami dinamika di dalam sana. Perlahan-lahan saya tergerak untuk belajar dan yang lebih penting saya tertarik untuk tidak menjadi golongan putih.
Saya sedang menempuh perkuliahan di kota Medan saat itu. Namun, demi memberi suara saya rela untuk pulang kampung walau itu benar-benar melelahkan secara fisik. Nah, selain rasa bangga bahwa saya bukan menjadi salah satu dari mereka yang tergabung dalam golongan putih, ada satu hal yang benar-benar membuat saya berbahagia di pesta demokrasi ini, bertemu sahabat kecilku.
Rasa bahagia bertemu mereka bukan karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu sama sekali. Faktanya, jarak antar rumah kami masing-masing tidak lebih dari 500 meter. Setiap libur semester, tahun baru, dan natalan kami selalu pulang kampung. Mungkin masalahnya ada pada diri saya yang selama ini terlalu banyak menutup diri dan menjadi anak rumahan. Walau sebenarnya rindu dengan mereka yang sering menjadi ‘otak’ kenakalan kami di masa SD, aku sulit untuk memulai komunikasi dengan mereka. Intinya, aku terlalu egois dan menikmati keegoisanku yang sebenarnya tidak menguntungkan bagiku.
Sering, kerinduan kepada mereka yang tidak bisa terobati lewat pertemuan kugantikan dengan stalking mereka via social media. Untungnya, mereka tidak menjadi korban yang kuhapus dari pertemanan di facebook. Aku malu mengakui ini bahwa aku tidak tahu kabar atau perkembangan dari sahabat kecilku yang tinggal tidak lebih dari 500 meter dari rumahku kalo bukan karena stalking via facebook. Ironis bukan? Sebagai sahabat, tentu saja aku pengen tahu sekarang mereka lagi sibuk apa, pacaran sama siapa, lagi galau apa, lagi dimana, dan lain-lainnya. Nah semuanya itu aku temukan ketika aku membuka facebook¸bukan karena bertemu dan bercengkerama dengan mereka.
Pertemuan hari ini, aku menangkap jelas tidak ada kekakuan di antara kami. Masih seperti yang dulu, lepas, bebas, dan gak malu-malu. Sungguh aku mensyukuri pertemuan singkat hari itu. TPS 3 yang berjarak 100 meter dari rumahku menjadi saksi pertemuan kembali sahabat kecil di masa SD.
Bersambung…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H