Mohon tunggu...
Putri Jewel
Putri Jewel Mohon Tunggu... Human Resources - "Lulusan Psikologi yang kebetulan menyukai menulis, walau hanya penulis amatiran. Punya akun YouTube namanya Jeweliteracy."

Alumnus of Faculty of Psychology, University of Sumatera Utara. Writing is my best-inspiring hobby.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Berita dan Informasi, Saring Dulu atau Telan Bulat-Bulat?

8 Maret 2014   20:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap hari semakin tak kuasa membendung mirisnya hati melihat setiap pemberitaan di pelbagai media di nusantara ini.

Kebakaran Lapas...

Beberapa waktu yang lalu, sebuah Lembaga Pemasyarakatan di kota Medan mengalami kebakaran yang tak hanya menghanguskan bangunan, namun juga sukses melepaskan para tahanan dari sempitnya jeruji besi. Seperti biasa, media berlomba-lomba meliput dan mengemas informasi sedemikian rupa sehingga masyarakat bisa terpuaskan oleh pemberitaan. Maka tak heran, hinga detail-detailnya prosedur terjadinya peristiwa kebakaran diekspos secara gamblang?

Bukan tak mungkin kan para tahanan di Lapas lain yang mengendus berita tersebut? Bukankah itu sebuah pemberitaan yang membuat mereka tersenyum? Mengapa? Bukankah mereka bisa belajar dari itu? Bukan tidak mungkin kan mereka pun tertarik untuk mencoba melakukan hal yang sama? Sebagai hasilnya, tentu mereka lepas dan dapat menikmati udara dengan bebas, bukan?

Ketika pemberitaan Kebakaran Lapas ini, saya khawatir dan cemas. Dari hati saya yang terdalam saya khawatir, jika hal yang sama akan kembali terulang mengingat gamblangnya pemberitaan di media. Akhirnya, beberapa bulan kemudian rasa khawatir saya menjadi kenyataan. Persis seperti yang saya khawatirkan, hal yang sama kembali terjadi. Kebakaran kembali terjadi, masih di provinsi yang sama.

Korupsi…

Ini lagi yang tak pernah sepi dari halaman-halaman media surat kabar dan berbagai media cetak dan elektronik di tanah air.

“XYZ, tersangka pejabat blablabla terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang yang merugikan negara sekitar sekian M. Aliran dana tersebut dicurigai dinikmati oleh A, B, C, D, E,… yang diduga memiliki “hubungan” dengan XYZ.”

Pemberitaan demikian sudah biasa, bukan? Sudah sangat biasa untuk dipaparkan secara jelas dan nyata di media. Maka tidak heran jika para newbie yang tertarik untuk merampas uang rakyat tersebut belajar dari para pendahulu mereka yang telah sukses terlebih dahulu. Mungkin, para newbie juga belajar untuk menjalin banyak hubungan dengan para wanita atau bahkan gadis pelajar/mahasiswa sebagai “gudang” penyimpanan harta haram mereka.

Sinetron…

Ada berapa sih tayangan sinetron tanah air yang mendidik?

Jawabnya,”HAMPIR TIDAK ADA”.

Lantas, kenapa sinetron di televisi itu masih saja ditayangkan?

“Yaaah, mungkin alasan komersial, untung-rugi, dan berbagai alas an lainnya yang kurang dapat dimengerti oleh seorang calon akademisi seperti saya”

Sinetron remaja begitu banyaknya mengumbar kehidupan yang tidak realistis dan kurang dapat dimengerti oleh nalar, terkadang. Pacaran, ada orang ketiga, selingkuh, putus, ancaman, nge-bully, fitnah, sirik, dengki hati, dan sebagainya. Pergi sekolah pake rok tanggung dengan ukuran setengah dari ukuran normal, kemeja keluar dengan kancing yang turun banget, pipi merona-rona, bibir berwarna, suka membentuk genk untuk nge-bully kaum lemah.

Sering menemukan sinetron remaja yang hampir seluruh settingnya di lingkungan sekolah, namun jarang mengekspos kehidupan anak sekolah yang sehat, yang ada hanya ajang pacaran, dendam-dendaman, bahkan tak jarang ada kerja sama antar guru dan siswa untuk menghancurkan siswa yang lain.

Inikah gambarandunia pendidikan yang paling layak ditayangkan lewat sinetron tanah air?

Si kaya yang mengganggap hina si miskin, rebutan suami atau istri orang, merusak rumah tangga orang, anak lahir (maaf) cacat yang tidak dianggap, ibu tiri yang menyiksa anak tiri. Menikah karena alas an materialistis tanpa didasari oleh cinta kasih sebagaimana yang diajarkan oleh Yang Maha Esa. Bercerai dengan begitu gampangnya, mungkin segampang mengatakan “Aku Mencintaimu”, entahlah.

Menghilangkan Nyawa Atas Nama Cinta…

Sepanjang yang saya ketahui sampai saya menuliskan ini, satu-satunya yang berhak atas nyawa manusia sekaligus berhak mengambil nyawa seseorang itu hanya Tuhan Yang Maha Esa. Namun, tren telah berubah sekarang. “Homo Homini Lupus”

Manusia sudah saling menjagal satu sama lain. Korban mutilasi di mana-mana. Siapa pelakunya? Pastinya bukanlah makhluk ciptaan Tuhan yang bernama “tumbuhan”. Namun, pelakunya adalah manusia juga, yang adalah ciptaan yang paling mulia.

Media, dan lagi-lagi mendeskripsikan sistematika terjadinya insiden. Tidak heran, jika ada terjadinya pembunuhan (mutilasi), ceritanya kurang lebih hampir sama. “Dipotong-potong menjadi beberapa bagian. Kemudian disebar di berbagai titik untuk mempersulit penyelidikan dan penyidikan”. Seperti itulah kira-kira.

Namun, mengapa harus terjadi perbuatan keji ini?

Beberapa waktu terakhir ini, saya cukup berduka dengan berbagai hidangan media yang menyajikan kasus pembunuhan atas nama cinta, cemburu, dan sakit hati. Bahkan, di usia belasan ada yang telah kehilangan akal sehat dan hati nuraninya hingga tega menghabisi nyawa orang lain secara sadis dan tidak manusiawi. Alasannya? “Aku cemburu”. “Aku sakit hati”. “Aku tak sanggup melihat mereka bersama”.

Sesungguhnya, semua ini bukanlah sepenuhnya kesalahan media. Segala sesuatu ada sisi baik buruknya dan kitalah yang bertanggung jawab untuk memilah-milah setiap informasi. Media merupakan salah satu sarana edukasi dan informasi, namun alangkah lebih baiknya jika kita bijaksana dan kritis dalam mencerna setiap informasi. Kita diberikan hati nurani dan akal sehat, janganlah kiranya kita menelan bulat-bulat informasi yang kurang dan tidak sehat itu.


“Kita tidak bisa mencegah burung hinggap di kepala kita, namun kita bisa mencegahnya untuk tidak bersarang di sana. “

Mungkin, kita tidak mampu mencegah pemberitaan yang mungkin tiba-tiba tersaji di hadapan kita, tayangan-tayangan kurang sehat yang mungkin tidak sengaja terpampang di depan kita, namun bukankah kita masih punya kesempatan untuk mengubah sikap kita dalam meresponnya?Berita bukanlah sebuah kesalahan. Namun, itulah tugasnya sebuah berita. Kembali kepada kita para konsumen berita dan informasi. Saring dan pilah-pilah atau telan bulat-bulat? Pilihan ada di tangan kita…



Salam Kompasiana

Putri Ratnaiskana P; Sabtu, 8 Maret 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun