Halo teman-teman Kompasianer! Ini kali pertama saya menuliskan pembahasan mengenai street photography. Mungkin banyak dari kalian yang belum mengenal istilah ini, atau mungkin malah sudah ada yang mendalaminya lebih daripada saya. Jadi, “apa itu street photography?”. Itulah pertanyaan yang saya lontarkan pada saat pertama kali mendengar istilah ini. Apabila kita terjemahkan artinya menjadi sebagai berikut: street = jalanan dan photography = fotografi. Sehingga, jika diartikan dalam Bahasa, maka street photography adalah fotografi jalanan. Okay, you got the point about translation, but what the essence? Apa yang menarik dari street photography? Pertanyaan itu akan saya bahas lebih lanjut setelah saya menceritakan beberapa pengalaman ketertarikan saya untuk memasukkan street photography sebagai passion baru saya. Awalnya, pada tahun 2011, saya sempat bekerja beberapa bulan di Rumah Sakit TNI AL Mintohardjo yang berlokasi di daerah Bendungan Hilir, Jakarta Selatan. Untuk perjalanan pulang-pergi, saya biasa menggunakan moda transportasi busway dan kemudian berjalan kaki dari halte busway hingga menuju lokasi kerja. Rutinitas perjalanan itu terkadang melahirkan berbagai inspirasi dan ide di kepala saya, mulai dari ide cerita untuk pembuatan cerpen hingga pada suatu saat saya tanpa sengaja tertarik untuk mengabadikan suatu momen dengan kamera handphone saya, yang hanya memiliki kekuatan megapiksel 1,3. Banyak hal dan momen yang terlihat sepele, namun sangat menarik di mata saya. Contohnya: pada saat antre menunggu bus Transjakarta atau menunggu sambil duduk-duduk di halte, ada saja momen yang menarik untuk dijepret. Entah itu, orang yang sedang mengobrol dengan anaknya, seorang petugas bus Transjakarta yang sedang berdiri menertibkan penumpang, orang yang tengah asyik bermain gadget atau seorang bapak tua yang kelelahan berdiri menunggu bus Transjakarta. Memotret mereka seperti menemukan sensasi tersendiri dibanding aktivitas memotret diri sendiri. Mulai saat itu, saya jadi gemar memotret apapun yang saya lalui. Berikut ini beberapa hasil foto yang saya bidik melalui sebuah kamera handphone sederhana. [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Foto diambil dari atas jembatan halte Busway JCC Senayan."][/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Suasana menunggu Busway di Halte Bus Transjakarta Cawang UKI."]
Suasana menunggu Busway di Halte Busway Cawang UKI.
[/caption] Foto-foto tersebut diambil antara tahun 2011 – 2012. Dalam foto pertama, tampak dari atas jembatan penyeberangan bus-bus yang mengular akibat kemacetan panjang. Foto tersebut, karena diambil dari kamera
handphone sederhana kemudian saya edit sedemikian rupa agar terlihat lebih dramatis. Sedangkan untuk foto kedua, tampak di sisi kanan foto, seorang pria muda duduk di sela-sela pagar besi yang biasa ada di halte Transjakarta, sambil sibuk mengutak-atik
handphone dan di sisi kiri foto terlihat pemandangan yang sama dari beberapa orang dengan posisi berdiri. Foto tersebut juga saya edit dengan menambah cahaya dan ketajaman gambar.
Photoscape adalah aplikasi yang saya gunakan untuk mengedit kedua foto di atas, dikarenakan banyak pilihan filter yang menarik dan aplikatif. Kemudian di awal tahun 2013, saya juga sempat mengambil beberapa gambar dari momen situasional seperti banjir yang terjadi di saat perjalanan saya berangkat menuju kantor di daerah Kelapa Gading. Tidak adanya angkot yang bisa melewati akses jalan menuju kantor membuat saya terjebak di tengah-tengah banjir, tepat di jalan depan Mall Kelapa Gading, yang ketinggian airnya sudah hampir mencapai betis orang dewasa. Bukannya berusaha untuk melanjutkan perjalanan ke kantor, saya malah asyik menikmati pemandangan yang tak biasa itu dengan kacamata saya yang berbeda. Tanpa pikir panjang, saya langsung memotret apa pun yang bersifat emosional dari lokasi tersebut, lagi-lagi dengan sebuah kamera
handphone sederhana dengan kapasitas piksel yang minim. Berikut hasil foto tersebut. [caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Diambil dari posisi saya berdiri, di gerbang Mall Kelapa Gaidng"]
Diambil dari posisi saya berdiri, di gerbang Mall Kelapa Gaidng
[/caption] Dalam foto tersebut, tampak dua orang sedang berjalan melewati banjir di sisi sebelah kiri jalan yang lengang. Ya! hanya mereka berdua, celana yang mereka gulung hingga selutut menandakan mereka baru saja melewati ketinggian air yang lebih tinggi daripada gambar di foto. Kekontrasan bisa kita temukan saat melihat sebelah kanan jalan dengan arah yang berlawanan, mobil-mobil berderet mengantre melewati banjir. Foto ini saya edit juga dengan Photoscape, lagi-lagi agar tampak lebih dramatis dari sebelumnya. Setelah mengambil foto-foto di atas, saya pun mencari tahu apakah ada orang-orang yang juga memiliki ketertarikan yang sama dengan saya, sampai akhirnya saya terdampar pada sebuah istilah yang disebut dengan “street photography”. Dari beberapa artikel yang saya baca, ternyata
street photography merupakan salah satu genre fotografi yang diilhami dari karya-karya seorang fotografer Prancis bernama Henri Cartier-Bresson sejak awal tahun 1940-an. Street Photography adalah kegiatan memotret tanpa pengarahan (candid) yang menjadikan kehidupan manusia sebagai objek dan dilakukan di ruang terbuka seperti : jalan raya, taman, tempat wisata, halte dll. Bahkan ruang tertutup seperti Mall bisa dijadikan sebagai lokasi memotret dengan syarat lokasi tergolong ruang publik dimana banyak interaksi manusia didalamnya, sehingga street photography bukan lagi merupakan teknik atau metode melainkan sebuah konsep. Lalu kembali ke pertanyaan di awal tulisan ini. Apa yang menarik dari Street Photography? Menurut saya, yang menarik dari Street Photography ialah pada saat kita berada di suatu tempat di ruang publik, dimana berbagai macam manusia saling berinteraksi di dalamnya atau secara independensi terkait dengan suatu tempat, kita bisa merasakan sekumpulan emosi yang membentuk suatu komposisi yang unik dan terbilang absurd dan kemudian membidiknya pada momen yang tepat. Di situlah terkadang muncul kepuasan batin yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Sampai saat ini, saya masih belajar untuk menangkap emosi-emosi yang terbuka di ruang publik tersebut dengan kamera yang lebih baik tentunya dan semoga ke depannya bisa mendapat kesempatan untuk menangkap momen-momen unik yang tidak terduga dengan ilmu yang lebih memadai dan alat yang lebih menunjang. Salam Konstruktif
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya