Â
Apa itu WTO? WTO, didirikan pada tahun 1995, merupakan agen baru perdagangan global yang berkuasa, yang telah mengubah GATT (Perjanjian Bea-Masuk dan Perdagangan) menjadi sebuah perjanjian yang mampu memaksakan perdagangan global. WTO adalah salah satu mekanisme utama dari globalisasi korporasi. Pendukungnya mengatakan bahwa WTO berdasarkan pada‘perdagangan bebas’ (free-trade). Namun sebenarnya buku aturan WTO yang lebih dari 700 halaman lebih tersebut, merupakan suatu sistem perdagangan bergaya korporatis (corporate-managed) yang komprehensif. Bahkan WTO jauh sekali dari filosofi perdagangan bebas abad ke-18 yang dikembangkan oleh David Ricardo atau Adam Smith, yang berasumsi bahwa baik tenaga kerja maupun modal kerja tidak boleh lintas batas negara. http://www.geocities.ws/edicahy/anti-imperialisme/WTO.html
Kalau dirunut ke belakang, secara jujur tiga lembaga perekonomian sebelumnya (Bank Dunia, GATT dan IMF) dirasakan belum menempatkan sistem liberalisasi yang demokratis dan hanya menempatkan Negara berkembang sebagai obyek/pasar perekonomian Negara maju, sehingga tidak dapat menjawab tuntutan perkembangan dewasa ini, karenanya diperlukan lembaga perdagangan internasional yang menjunjung tinggi demokrasi perekonomian secara adil. Seperti kita ketahui bersama, bahwa ekonomi dunia setelah Perang Dunia Kedua memerlukan pengorganisasian kembali dan memerlukan suatu kerangka untuk kerjasama ekonomi internasional. Rapat yang diadakan di antara negara-negara anggota PBB di Bretton Woods di New Hampshire USA pada tahun 1944 mempunyai satu-satunya maksud, yakni penegakan ketertiban dan stabilitas ekonomi dunia. Dari rapat tersebut, tiga lembaga dibentuk untuk mencapai tujuan tersebut, yang pertama pendirian Bank Dunia, yang kedua Kesepakatan Umum Mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade – GATT), yang menciptakan aturan-aturan dan peraturan-peraturan untuk perdagangan dunia, dan yang ketiga IMF untuk memastikan suatu lingkungan moneter internasional yang stabil. Dari sana IMF membuat suatu sistem yang mencoba mempertahankan nilai tukar tetap antar mata uang-mata uang utama, yang dengan lebih baik dikenal sebagai ‘Sistem Bretton Woods’. Ketiga lembaga tersebut dipandang belum berhasil mengatasi permasalahan perekonomian antar-negara secara adil dan demokratis. Dari kaca mata ini, maka WTO pada tataran tertentu diharapkan dapat memberikan keuntungan dalam rangka menjamin kepentingan nasional, yakni memberikan kemudahan-kemudahan dalam menarik investasi asing, dalam kondisi tertentu (bila terjepit) mempermudah dikucurkannya dana bantuan dengan ‘kredit murah’, membuka pasar global untuk memasarkan prodok-produk nasional maupun lainnya, namun sekali lagi untuk menjawab itu maka perekonomian nasional harus memiliki keunggulan komparatif dan memiliki daya saing – tanpa itu kita akan tenggelam.
Sistem perdagangan bergaya korporatis itu didominasi oleh efisiensi ekonomi yang tergambar dalam pencapaian profit perusahaan secara cepat. Keputusan-keputusan yang mempengaruhi ekonomi hanya dinikmati oleh sektor swasta, sedangkan biaya-biaya sosial dan lingkungan menjadi beban publik. Sistem yang kadang-kadang disebut model ’neoliberal’ ini mengesampingkan undang-undang lingkungan, usaha perlindungan kesehatan, dan standar tenaga kerja, dalam menyediakan sumber daya manusia dan sumber daya alam yang murah bagi perusahaan-perusahaan transnasional (TNC/Trans-National Corporation). WTO juga menjamin akses perusahaan-perusahaan besar tersebut ke pasar luar negeri tanpa mewajibkan perusahaan-perusahaan transnasional tersebut untuk mempertimbangkan prioritas-prioritas keperluan domestik negara-negara yang dituju. Dalam ideologi neo-liberal, mitos yang mengatakan bahwa setiap negara dapat berkembang dengan cara lebih banyak mengekspor dibandingkan impor, dianggap sangat penting. Sepertinya para pendukung ideologi ini lupa bahwa, bila suatu negara mengekspor mobil, misalnya, negara tujuan ekspor tersebut menjadi pengimpornya.
Tuntutan Pembubaran
Pro dan kontra terhadap tuntutan pembubaran WTO harus disikapi secara cerdas, kritis, hati-hati dan harus berorientasi pada kepentingan nasional. Apabila kita berpikir jernih dan cerdas, sepertinya bangsa Indonesia memang belum cukup siap untuk menjadi anggota WTO mengingat segala keterbatasan daya saing yang dimiliki bangsa Indonesia ini, sehingga membuka kemungkinan akan semakin terpuruknya kondisi perekonomian nasional atau semakinterstrukturnya kemiskinan masyarakat Indonesia di tengah-tengah roda perekonomian global. Yang lebih parah bila seluruh kekayaan alam yang kita miliki pada gilirannya hanya akan dirampok oleh perusahaan-perusahaan asing yang mendapat legalitas negara untuk mengolahnya. Jujur, dilihat dari sudut pandang ini rasanya sangat sulit untuk mengatakan bahwa WTO akan dapat membantu/mendukung pembangunan ekonomi nasional dalam rangka menyejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, dengan lesunya perekonomian nasional dewasa ini, perlu diajukan pertanyaan kritis; Apakah ada korelasi yang signifikan dengan praktik WTO ?
Berangkat dari perspektif ini, karenanya sementara kalangan ada yang berpendapat agar sistem ekonomi pasar ala WTO sebaiknya dibubarkan, sudah saatnya diganti dengan sistem ekonomi yang lebih berpihak kepada rakyat dan menomorbelakangkan kepentingan konglomerat. Sebab dilihat dari kepentingan nasional bangsa Indonesia, sejatinya sistem ekonomi seperti yang dikembangkan WTO dan sistem ekonomi sejenisnya tidak akan mampu membawa Indonesia pada kebangkitan ekonomi, karena lebih mengutamakan kepentingan konglomerat yang diwakili para korporasi asing daripada kepentingan nasional dan rakyat Indonesia. Harus kita sadari bersama bahwa salah satu penyebab kemiskinan yang terus melanda masyarakat Indonesia dari satu periode ke periode berikutnya, juga karena sistem ekonomi itu sudah tidak mampu lagi menyahuti tuntutan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan dan sosial ekonomi masyarakat.
Bangsa ini sangat kaya dengan sumber daya alamnya, subur dan makmur, namun warganya masih melarat. Hal itu disebabkan ketidakcocokan antara kesuburan dan kekayaan alam dengan langkah-langkah pengelolaannya, sehingga kenyataan yang ada bukannya kekayaan yang dimiliki memberikan kesejahteraan namun justru banyak melahirkan kemiskinan dan kemelaratan yang merata dari Sabang hingga Merauke. Bahkan, WTO bisa mewujudkan bangsa Indonesia menjadi bangsa pinggiran di tengah-tengah arus utama perekonomian global, kita bukannya dapat ikut memainkan peran namun justru menjadi obyek pasar global, karena ketiadaannya daya saing global yang dimiliki bangsa Indonesia. Apabila hal tersebut berkembang, maka kemiskinan terstuktur benar-benar akan kita alami bersama. Kemudian harus bagaimana kita dalam menyikapinya?
Kembali dalam menyikapi terhadap keberadaan WTO, alhasil kita harus hati-hati, cerdas, kritis dan harus mengembangkan asumsi-asumsi prediktif yang bisa mengorientasikan kepentingan pasar global, serta tidak cukup dengan turun jalan menuntut pembubaran WTO. Terlebih lagi apabila kita melihat realitas obyektif Negara Indonesia yang sepertinya sudah membuka diri terlalu jauh dalam keikutsertaannya terhadap WTO, maka tindakan yang bijak barangkali bagaimana mengoptimalkan segi-segi positifnya dengan sebaik mungkin dan mengeliminasi sekecil mungkin dampak negatif dari WTO tersebut. Wallohuahlam Bisawab! (Dimas Bintang Nagara)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H