Bahomakmur sebuah perkampungan di kecamatan Bahodopi. Sekitar 45 kilometer dari kota Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah. Di pinggiran kampung di kelilingi persawahan, warga bekerja sebagai petani dan sebagian juga pensiun karena telah direkrut menjadi karyawan di sebuah perusahan tambang nikel.
Menjelang tengah hari anak-anak berseragam merah putih memadati jalan sepulang sekolah.
Pertama kali saya menginjak kaki di desa berpenduduk 275 Kepala Keluarga (KK) tersebut. Dihari itu 26/3/2011)untuk bertemu salah satu tokoh masyarakat di desa bahomakmur berinisial SB usia sekitar 30-an..
Siang itu kami duduk melantai dengan posisi berhadapan di rumahnya, berbicara dengan nada latang menceritakan peristiwa Banjir bandang 24 Juli 2010 silam. Banjir yang menerjang Tiga perkampungan di Kecamatan Bahodopi berawal dari hujan mengguyur dua hari berturut-turutdan kelengahan Perusahaan dalam memperhatikan normalisasi sungai, sehingga terjadi penyempitan jalur sungai Bahongkolangu dan menjebolkan jematan Houling (jalan produksi/tambang) yang hanya berjaraknya sekitar 30 meter dari pemukiman masyarakat .
Air yang meluap dari sungai Bahongkolangu setinggi 1,5 meter menyapu desa Bahomakmur dan dua desa tetangga desa Fatufia, yang hanya berjarak 2 kilometer dan desa pekeurea yang berjarak sekitar 1 kilometer dari desa bahomakmur, “tuturnya”.
Sementara, di pihak perusahaan sendiri mengaku, bencana banjir bandang di Bahodopimerupakan faktor alam. Ini yang mengundang reaksi masyarakat Bahodopi dari Tiga desa untuk melakukan protes langsung di kantor perwakilan perusahaan di desa Fatufia Kecamatan Bahodopi tanggal 4 Agustus 2010, tujuan kita sebenarnya baik-baik kita hanya ingin pihak perusahaan bertanggung jawab tetapi perusahaan menolak bertanggung jawab. Bukannya kami mendapatkan keadilan, justru terjadi penangkapan pada 28 petani setempat dengan tuduhan melakukan perusakan terhadap barang milik perusahaan ketika melakukan aksi protes. yang salah satunya saya sendiri, “sambil tersenyum”
Padahal kalau di fikir kerusakan yang dialamai Perusahaan tidak sebanding dengan kerugian yang diderita oleh masyarakat bahodopi. Dari peristiwa yang menimpa warga di sekitar wilayah eksplotasi tambang. Seharusnya pemerintah daerah sendiri berani mengambil sikap tegas dan memberikan sanksi pada Perusahaan, sedangkan aparat kepolisian sendiri lebih menunjukan menunjukan keberpihakannya kepada perusahaan yang hanya menaggapi laporan sebelah pihak tanpa mengusut akar permasalahan apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika pihak perusahaan mengklaim bahwa pihaknya menderita kerugian sekitar Rp 7 miliar akibat tindakan anarkis warga, Aparat langsung menangkap 4 warga yang dianggap sebagai profokator dan dijadikan sebagai tersangka yang akan dikenai Pasal 170 dan 406 KUHP tentang perusakan secara bersama-sama. Ancaman hukumannnya maksimal lima tahun kurungan…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H