Mohon tunggu...
Putra Sidik Nurcahyo
Putra Sidik Nurcahyo Mohon Tunggu... -

ada deh.. hehehehehe

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Tiwul, Makanan Khas Gunung Kidul yang Terpinggirkan..

10 Maret 2011   08:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:54 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia merupakan negara yang sangat besar dengan keragaman budaya dan hasil budayanya. Dalam hal kuliner pun di Indonesia terdapat banyak sekali makanan khas daerah. Semisal Gudeg di Jogjakarta, Tiwul di Gunungkidul maupun Geplak di Bantul. Sedikit dari banyaknya jenis makanan yang tersebar didaerah-daerah diJogjakarta.

Dari sekian banyak makanan di Jogjakarta, ada beberapa makanan dari daerah-daerah di Jogjakarta yang menyimpan kearifan masalalu.  Seperti halnya tiwul di Gunungkidul. Tiwul menyimpan banyak cerita masyarakat Gunungkidul.

Pada saat saya berkunjung ketempat salah satu teman saya di daerah Paliyan, salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Gunungkidul, banyak hal yang mengingatkan saya dengan tiwul, makanan asli dari Gunungkidul. Pada saat saya bertanya kepada nenek dari teman saya apakah beliau memasak tiwul, beliau menjawab tidak. Pada saat saya bertanya lebih tentang tiwul,beliau banyak bercerita bagaimana tiwul pernah menjadi makanan pokok sebagian besar masyarakat Gunungkidul pada tahun 1970-an. Beliau menceritakan bahwasannya pada saat itu di daerah tersebut terjadi krisis pangan. Ironisnya pada saat ini sebagian masyarakat Gunungkidul yang hidup di kota pada umumnya tidak lagi mengenal tiwul.

Suatu waktu saya bertemu adik-adik kelas saya di SMA tempat saya sekolah dulu. Sungguh ironis, tiwul yang pada masalalu sempat menjadi makanan pokok dan telah menjadi makanan khas Gunungkidul yang di kenal masyarakat luas sekarang sangat jarang ditemui. Tak jarang remaja saat ini jika ditanya tentang tiwul tahu apa itu tiwul, tapi setelah di tanya pernah makan atau tidak banyak dari mereka yang menjawab belum pernah.

Kembali ke desa tempat teman saya yang kebetulan masih tinggal di desa. Pada masalalu tiwul pun bisa menjadi sarana untuk berkumpul dan bercanda. Pada saat saya berkunjung,pada sore harinya nenek dari teman saya kebetulan membuatkan saya tiwul. Saya sempat bertanya cara membuat makanan pengganti nasi yang berasal dari gaplek itu. Ternyata tak mudah untuk membuatnya, di mulai dari kita harus menumbuk gaplek menggunakan lumpang dan alu, alat tradisional untuk menumbuk. Saya bertanya,"kenapa kok ngga digiling aja ke penggilingan mbah". Beliau menjawab,"rasane luweh enak nek di tutu dewe timbang di gilingke", yang artinya lebih enak kalau ditimbuk sendiri daripada di giling ke penggilingan. Setelah itu masih melewati beberapa proses hingga menjadi tiwul. Setelah jadi pun akhirnya kami makan bersama. Kalau di desa sering di sbut dengan "sambelan", yaitu makan bersama dengan menu sederhana dengan sambal bawang dan lauk pauk seadanya.

Sebuah hal yang sangat luar biasa dimana tiwul dapat menghilangkan perbedaan antara kami hingga melebur ke dalam suasana penuh kekeluargaan. Tetapi sekarang ini di kota asal tiwul sendiri,tiwul telah terpinggirkan oleh makanan cepat saji. Semoga modernisasi tidaklah menghapus kearifan lokal yang penuh nilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun