Pangsa pasar perbankan syariah berdasarkan data per September 2024 yang dikeluarkan oleh OJK berada pada level 7,44% dari total aset perbankan nasional. Secara industri, aset perbankan syariah meningkat 10,56% secara tahunan (year on year/YoY) menjadi Rp919,83 triliun (Sunartono, 2024). Kenaikan per tahunnya ini menunjukkan bahwa keuangan syariah, termasuk akad-akad seperti murabahah, memiliki daya tarik dan relevansi yang cukup tinggi. Sebagai salah satu alternatif dari sistem keuangan konvensional, murabahah menawarkan solusi berbasis syariah yang dianggap lebih adil karena menghindari unsur riba, menurut statistik yang dirilis oleh Direktorat Bank Syariah Bank Indonesia pada November 2004, pembiayaan dengan akad murabahah menyumbang 73% dari pembiayaan perbankan syariah. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah hanya menyumbang 27% dari total pembiayaan (Binus University school of accounting). Namun, popularitasnya juga mengundang pertanyaan: apakah murabahah benar-benar menjadi solusi dan membawa manfaat bagi masyarakat, atau justru menjadi beban baru bagi nasabah?
Murabahah adalah akad jual beli yang melibatkan kesepakatan antara penjual dan pembeli terkait harga suatu barang. Dalam mekanisme ini, penjual secara transparan mengungkapkan harga pokok barang, yaitu biaya perolehan barang tersebut, serta besaran margin keuntungan yang diambilnya (Prayoga, 2011). Dengan begitu, pembeli mengetahui secara jelas komponen harga yang harus dibayarkan, sehingga akad ini sejalan dengan prinsip syariah yang mengutamakan keterbukaan dan keadilan. Namun, dalam praktiknya, banyak pihak menyamakan murabahah dengan sistem bunga pada keuangan konvensional. Seperti dalam artikel karya dari Badriati (2017 ) yang mengutip kritkan Abdullah Saeed mengenai murabah. Dalam bukunya Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation Abdullah Saeed menyampaikan kritik tajam terhadap praktik murabahah di perbankan Islam. Ia berpendapat bahwa akad ini memiliki kemiripan dengan praktik bunga di bank konvensional, sehingga dianggap sebagai bentuk riba terselubung. Menurutnya, praktik murabahah lebih berkembang dibandingkan akad-akad syariah seperti mudharabah dan musyarakah, padahal kedua akad tersebut lebih mencerminkan prinsip-prinsip dasar keuangan Islam. Saeed juga mempertanyakan konsistensi moral dalam fiqh, mengingat praktik murabahah yang mirip bunga ini diizinkan, sementara bunga dalam bank konvensional dilarang.
Saeed mengidentifikasi beberapa masalah dalam praktik murabahah:
- Harga jual murabahah lebih tinggi dibandingkan bunga tetap pada bank konvensional.
- Adanya konsep nilai waktu uang (time value of money) dalam penentuan margin keuntungan.
- Tidak adanya batasan maksimal keuntungan yang boleh diambil lembaga keuangan.
- Kontrak jual beli murabahah sering kali hanya bersifat formalitas.
Kritik ini memunculkan persepsi bahwa bank syariah, dalam praktiknya, tidak berbeda secara signifikan dengan bank konvensional. Banyak yang menilai bahwa sistem ini memiliki kemiripan dengan pembiayaan berbasis bunga tetap yang diterapkan oleh bank konvensional. Namun, akad ini tetap dianggap sesuai dan diperbolehkan dalam kerangka syariah. Kontroversi inilah yang kemudian memicu perhatian luas dari kalangan praktisi, akademisi, hingga para ulama, yang terus memperdebatkan keabsahan dan implementasinya (Badriati, 2017 ). Dengan banyaknya kritik dan kontroversi maka praktik murabahah ini perlu dievaluasi dan disempurnakan lagi agar lebih sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Kemudian kritik yang disampaikan oleh abdullah seed juga dapat menjadi bahan evaluasi dan refleksi bagi Lembaga Keuangan Syariah, terutama dalam penetapan margin keuntungan dan keterlibatan transasksi riil, namun disisi lain juga perlu diingat bahwa salah satu akad jual beli ini yaitu murabahah telah memberikan kontribusi terhadap inklusi keuangan bagi negara, seperti di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kemudian tantangan berat dari murabahah ini ialah diharapkan menjadi solusi pembiayaan yang adil dan terbuka bukan hanya sekedar replikasi dari sistem bunga, sehingga murabahah ini sejalan dengan prinsip syariah. selanjutnya diperlukan pemberian edukasi kepada masyarakat mengenai konsep keuangan syariah untuk mencegah terjadinya persepsi eksploitasi terhadap nasabah bank syariah. kemudian juga diperlukan promosi dan akad-akad pembiayaan lainnya seperti mudharabah dan musyarakah yang lebih mencerminkan keadilan dan kerja sama yang ideal sesuai prinsip-prinsip dasar keuangan Islam. Dengan begitu sistem keuangan Islam tidak hanya kompetitif, tetapi juga menjadi solusi keuangan bagi masyarakat dan memiliki legitimasi moral yang kuat.
Referensi
Badriati, B. E. (2017 ). KRITIK TERHADAP IMPLEMENTASI AKAD MURABAHAH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (Studi Kasus Pada Bank Umum Syariah Kota . Jurnal Universitas islam Negeri (UIN) Mataram , Volume VIII, Nomor 2.
Binus University school of accounting. Mengenal Akad Murabahah dan Mengapa Murabahah Populer Sebagai Akad Pembiayaan Di Bank Syariah. diakses pada 14 Desember dari https://accounting.binus.ac.id/2021/11/30/mengenal-akad-murabahah-dan-mengapa-murabahah-populer-sebagai-akad-pembiayaan-di-bank-syariah-sebuah-summary-ringkas/
Prayoga, y. (2011). murabahah produk unggulan bank syariah konsep, prosuder, penetapan margin dan penerapan pada perbankan syariah. jurnal kajian ekonomi islam dan kemasyarakat, Volume 4, Nomor 2.
Sunartono. (17 November 2024). Pangsa Pasar Bank Syariah Masih Perlu Ditingkatkan. Jogja: Harian Jogja. https://ekbis.harianjogja.com/read/2024/11/17/502/1195124/pangsa-pasar-bank-syariah-masih-perlu-ditingkatkan
(Penulis) Putra Rizky Prasetyo – Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H