Mohon tunggu...
Putra Rama Febrian
Putra Rama Febrian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Jurnalistik. Saya adalah orang yang ingin terus belajar, terus berkembang, dan memanfaatkan keterampilan saya dalam hal-hal yang positif. Hobi saya bermusik dan olahraga.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perjalanan Spiritual Tasawuf: Dari Definisi hingga Perkembangan dan Pemurnian Kontemporer

5 Desember 2023   00:50 Diperbarui: 24 Desember 2023   00:03 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

1) Tahap al-zuhd (zuhud atau asketis) dan gerakan al-zuhd: Zuhud, dalam bahasa Arab, berarti sikap menolak keinginan duniawi atau ambisi terhadap materi. Ini merupakan sikap yang melihat dunia sebagai sesuatu yang sementara dan tak bermakna. Zuhud menolak pandangan bahwa kenikmatan dan keindahan dunia merupakan sesuatu yang hakiki, melainkan tipuan yang akan lenyap. Orang yang zuhud tidak terpaku pada harta atau benda material, sering dihubungkan dengan kesederhanaan dan kehidupan yang minim akan kekayaan materi.

2) Tahap tasawuf dengan orientasi, penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), dan pendakian rohani dengan menempuh maqmt (tangga-tangga rohani) dan merasakan ahwal (suasana hati): Tasawuf, yang mulai berkembang pada akhir abad ke-2 Hijriah, beralih dari sekadar gerakan zuhud ke fokus penyucian jiwa dan kenaikan spiritual. Konsep tazkiyat al-nafs, penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela, menjadi inti dari praktik tasawuf. Ini diterapkan melalui ha, kha, jim: takhalli (pengosongan), tahalli (pengisian dengan sifat-sifat baik), dan tajalli (manifestasi spiritual). Tak ada pengisian tanpa pengosongan; keduanya saling melengkapi. Sementara itu, pendakian rohani tercermin dalam maqmt dan ahwal, di mana maqmt merujuk pada tangga-tangga spiritual dan perhentian dalam pencarian. Paradigma pendakian menekankan perjuangan menuju keberadaan yang lebih dekat dengan Allah melalui iman, ibadah, dan amal. Sementara paradigma perjalanan melihat hidup sebagai perjalanan spiritual menuju Allah, dengan salik sebagai mereka yang menempuh perjalanan ini.

3) Tahap penyatuan diri dengan Tuhan: Penyatuan diri sufi dengan Allah, terwujud melalui itihad dan hulul. Itihad, artinya penyatuan, adalah puncak pengalaman sufi saat merasakan fana (kehilangan diri) dan baka (bersama Allah). Abu Yazid al-Busthami mencapai itihad melalui perjuangan panjang melalui maqmt hingga merasakan fana dan baka. Namun, dalam pengalaman itihadnya, Abu Yazid mengeluarkan ungkapan yang bertentangan dengan akidah Islam yang disebut sebagai syatahat, ungkapan yang terasa asing dan tidak masuk akal. Sementara itu, hulul adalah pengalaman sufi yang merasakan kedekatan, persahabatan, pengenalan, dan kasih dari Allah. Dalam konsep hulul yang dipaparkan oleh Abu al-Mugis Husain bin Manshur al-Hallaj, Tuhan hadir, memilih, menjelma, dan menyatu dengan sufi tersebut. Konsep ini dibangun atas teori lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan).

4) Tahap kesatuan wujud: Wahdat al-wujud, dari Ibn 'Arabi, mengulas tentang kesatuan wujud. Dalam bahasa Arab, wahdat berarti kesatuan dan al-wujud adalah keberadaan. Konsep ini menyatakan bahwa pada hakikatnya, hanya ada satu wujud, yaitu wujud Allah. Alam dan keberadaannya hanya relatif terhadap wujud Allah. Alam tidak memiliki keberadaan sejati, yang membuatnya merupakan wujud relatif atau nisbi, sementara wujud Allah adalah mutlak dan absolut. Wahdat al-wujud menekankan bahwa pada hakikatnya, hanya ada satu kebenaran yang sesungguhnya yakni wujud Allah.

5) Tahap pemurnian tasawuf: Gerakan pemurnian tasawuf dimulai saat terdapat indikasi pemisahan dari syariat. Imam Malik bin Anas memimpin gerakan ini dengan menggabungkan fikih dan tasawuf. Beliau, sebagai ahli fikih dan suf, menegaskan bahwa tasawuf tanpa pemahaman fikih dapat menyimpang. Imam Malik menekankan pentingnya mempelajari fikih sebelum tasawuf untuk menghindari penyimpangan dari ajaran Islam. Beliau percaya bahwa pengetahuan sejati berasal dari nur yang Allah tanamkan dalam hati. Di zaman modern, Buya Hamka melanjutkan usaha pemurnian tasawuf dengan tiga reformasi: membersihkan tasawuf dari bid'ah, menjauhkannya dari nilai sosial usang, dan merumuskan praktik tasawuf modern dalam karyanya "Mengembalikan Tasawuf Ke Pangkalnya" pada 1972.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun