Mohon tunggu...
Putra Perdana
Putra Perdana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Wakil Ketua 1 Senat Mahasisw UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Currently studying islamic criminal law. Interested in global issues concerning law, politics, and international relations

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sentimen Rohingya dan Ancaman Munculnya Pemimpin Anti-Demokrasi

11 Desember 2023   19:46 Diperbarui: 11 Desember 2023   20:47 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelombang pengungsi Rohingya kembali berdatangan di Aceh dengan jumlah yang tidak sedikit. Kedatangan mereka yang nyaris terjadi hampir setiap tahun ini menimbulkan dilema bagi pemerintah dan memicu pro-kontra di masyarakat. Pasalnya, dari berbagai pemberitaan yang banyak beredar, para pengungsi tersebut digambarkan seolah-olah "tak tau diri". Beberapa hal yang terjadi adalah aksi pembuangan bantuan makanan yang diberikan warga Aceh ke tengah laut, keluhan atas bantuan-bantuan yang terlalu sedikit, hingga kabar bahwa para pengungsi mendapatkan insentif dari pemerintah menyulut amarah banyak orang karena pemerintah dianggap lebih peduli terhadap pendatang daripada rakyatnya sendiri.

Amarah masyarakat yang masif terhadap kasus pengungsi ini dapat dimaklumi menimbang banyak berita dan konten yang provokatif dengan lagat menyindir atau memberikan pendapat kontra-imigran kepada khalayak. Sehingga, terdapat beberapa mis-informasi dan hoax yang mempengaruhi isu ini. Jika dilihat dari konteks Indonesia sekarang, terdapat ancaman yang meneroka dibalik menyeruaknya sentimen terhadap para pengungsi. Pasalnya, isu mengenai pengungsi dari Rohingya muncul bertepatan dengan momentum Pemilu 2024 nanti. Hal tersebut patut membuat kita curiga karena sudah menjadi rahasia umum bahwa momentum Pemilu acapkali menjadi sarana orkestrasi narasi pihak-pihak tertentu guna meraup keuntungan elektoral dari narasi tersebut.

Orkestrasi narasi sebagai sarana meraup keuntungan elektoral sebenarnya merupakan hal yang lumrah dan dapat dimaklumi dalam politik, selama hal tersebut tidak melanggar norma-norma dalam demokrasi. Namun, narasi tersebut menjadi keliru ketika ia justru melanggar norma-norma dalam demokrasi. Dalam konteks narasi mengenai pengungsi dari Rohingnya, menurut saya, patut kita tanggapi secara kritis. Jika narasi yang dibangun justru meningkatkan sentimen terhadap orang-orang Rohingnya, terdapat kemungkinan munculnya calon pemimpin yang ultranasionalis.

Ultranasionalisme merupakan suatu posisi politik yang menempatkan kepentingan nasional diatas segala-galanya. Menurut Michael Sandel, penyebab munculnya kelompok ultranasionalis dikarenakan kekecewaan publik terhadap pasar bebas yang menyebabkan besarnya kesenjangan sosial. Kekecewaan itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh pemimpin ultranasionalis untuk memantik amarah publik dan menyalahkan kelompok lain atas kesenjangan sosial yang terjadi. Hal tersebut berbahaya bagi tatanan demokrasi karena memiliki sifat diskriminatif terhadap orang-orang yang berbeda golongan, dan oleh karenanya mengancam kemajemukan dan kesetaraan manusia yang dijamin oleh negara demokrasi. Karena sifatnya yang diskriminatif itu juga, ultranasionalisme berpotensi untuk memicu konflik pada tingkat domestik, baik itu antar etnis, agama, atau ras.

Praktik kepemimpinan ultranasionalis pernah dipertontonkan oleh Hitler di Jerman dan Trump di Amerika Serikat. Hitler, memanfaatkan kekecewaan publik terhadap rezim Jerman saat itu untuk menyalahkan orang-orang Yahudi atas runtuhnya ekonomi Jerman. Trump, serupa dengan Hitler, membangun narasi anti-imigran karena dianggap telah mengambil lahan pekerjaan orang-orang asli Amerika. Efeknya, holokaus di Jerman dan subordinasi kelompok-kelompok minoritas di Amerika. Jika berkaca pada dua fenomena sejarah tersebut, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi situasi yang serupa, terutama melihat narasi yang dibangun yang seolah-olah memperlihatkan bahwa publik "iri" dengan pengungsi Rohingnya yang mendapat insentif dari Pemerintah sedangkan masih banyak masyarakat Indonesia yang kelaparan.

Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai civil society untuk mengawasi kemana isu ini akan berlabuh, siapa yang akan diuntungkan dari isu ini, siapa yang dirugikan, dan apa dampaknya bagi bangsa Indonesia jika isu ini terus membesar. Yang jelas, Pemilu tahun 2014 dan 2019 telah mengajarkan kita akan bahayanya politisasi identitas, sehingga setidaknya kita bisa berharap bahwa masyarakat Indonesia akan lebih bijak dalam menanggapi setiap isu yang muncul, terutama menjelang Pemilu 2024 nanti. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun