Pernahkah kita sebagai manusia, yang diberi akal oleh Tuhan untuk berpikir. Selama ini kita telah menggunakan sosial media sebagai bahan pelarian dari semrawutnya dunia, untuk menenangkan sejenak pikiran yang rapuh dan bingung. Tujuan awal untuk mengistirahatkan pikiran, terkadang malah membuat nambah pikiran. realitanya, selama ini kita telah diperbudak dengan teknologi yang ada. dan sudah menjadi sebuah habit bagi setiap insan untuk menggunakan sosial media.
Postingan keluhan, curhatan yang kadang tidak ada manfaatnya. Yang hanya membuat orang lain terkadang bukannya simpati dengan masalah yang kamu hadapi, malah merasa ternganggu dengan postingan curhatan yang terpampang di layar gawainya.
Berdasarkan hasil riset dari Wearesosial Hootsuite, (salah satu platform yang menganalisis tentang pertumbuhan media sosial). Menurut data yang tercantum, pada bulan Januari 2019 kemarin, pegiat media sosial di Indonesia mencapai angka yang fantastis, 150 juta orang atau sebesar 56% dari total populasi keseluruhan masyarakat Indonesia. Jumlah ini meningkat sekitar 20% dari survei yang pernah dilakukan sebelumnya oleh platform ini.
Data penggunaan media sosial berbasis mobile (gadget) berada dinilai angka 130 juta orang atau sekitar 48% dari jumlah penduduk Indonesia. dilihat dari data presentase ini, saya bisa beropini bahwa ketergantungan terhadap teknologi praktis, sudah mulai mendarah daging dan mulai meningkat kasta menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang.
Sebuah keniscayaan yang fana bagi kita, jika merasa, "oh, saya masih bisa mengontrol diri kok. saya tidak ketergantungan dengan hal tersebut". sulit sekali, di zaman sekarang ditemukan orang yang tidak diperbudak oleh teknologi yang ada, semua kebutuhan baik primer, sekunder, dan tersier. semua itu bisa kita dapatkan dengan mudah dari sebuah benda kotak yang sangat cerdas - yang bahkan lebih cerdas dari penggunanya - sebut saja smartphone. Sulit memang, untuk bisa lepas sehari saja darinya, bahkan tangan saja seperti gatal kalau tidak pegang.
Dampak negatif yang bisa terjadi, banyak sekali aspeknya. Misal, pada psikologi seseorang mengenai kecemasan sosial. Kecemasan sosial memiliki kaitan erat dengan kecemasan secara komunikatif. Hal ini digambarkan seperti perasaan takut atau khawatir saat individu berada pada situasi sosial dan untuk berbicara pada orang lain merasa canggung dan sungkan.
Individu yang mengalami kecemasan sosial akan mengembangkan mindset perasaan-perasaan negatif, dan memprediksi hal-hal negatif saat berinteraksi dan komunikasi dengan orang lain. Sifat individualis menjadi akibat yang tersurat dan bisa kita rasakan. Jika kita observasi kehidupan saat sehari-hari, misalnya saat kita kumpul bareng teman-teman di sebuah cafe, pasti masih saja sulit untuk lepas dari media sosial. Bahkan adakalanya dibuat status, misal di Whatsapp atau story Instagram.
Perasaan pertemanan pun seakan seperti hanya sebuah hubungan (relationship) yang semu. Seperti istilah yang dekat seperti jauh, yang jauh seperti dekat, itulah yang bisa kita rasakan realitanya sekarang.
Friendship serasa hanya sebuah ilusi, dan timbul rasa bosan jika kita berbicara dengan orang lain. Entah kenapa hal seperti ini terjadi kehidupan modern, Apakah ini semua rencana konspirasi dari para elite global, yang ingin merealisasikan projek new world order yang seperti dikatakan orang-orang dalam teori konspirasi mainstream yang beredar, untuk membentuk komunitas masyarakat yang individualis dan apatis? Who Knows! siapa tau ini semua memang konspirasi wahyudi.
Barometer ketergantungan seseorang terhadap adanya media sosial, bisa kita lihat atau tinjau dari berbagai segi. Pertama, dapat kita lihat dari intensitas waktu penggunaannya, biasanya semakin seseorang itu sering memainkan handphone nya tingkat ketergantungannya semakin tinggi. entah itu hanya digunakan untuk bekerja, ataupun hanya sekadar scroll-scroll isi pesan berharap mendapat pesan dari doi di Whatsapp.