Konsep Tuhan sebagai causa prima (penyebab pertama) merupakan proposisi bahwa Tuhan adalah sebab utama munculnya alam semesta. Istilah  causa prima pertama kali dicetuskan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dan kemudian dikembangkan oleh para filsuf lain seperti Thomas Aquinas, Ibnu Sina, dan Al-Farabi. Aristoteles berargumen bahwa sistem alam semesta ini sangat canggih, teratur, dan bergerak. Di balik semua itu pasti ada sebab, dan sebab pertama dari semua itu adalah Tuhan.
   Menurut pandangan Ibnu Sina dan Al-Farabi, Tuhan adalah Wajib al-Wujud (wujud yang niscaya), di mana eksistensinya tidak bergantung pada siapapun, mutlak, dan tidak mungkin tidak ada. Berbeda dengan makhluk-Nya yang merupakan Mumkin al-Wujud (wujud yang mungkin ada), yang hanya ada karena ada yang mengadakan. Yang menyebabkan mereka ada adalah Tuhan itu sendiri.
   Kalau kita pikirkan lebih dalam apa yang dikatakan oleh Aristoteles, Ibnu Sina, dan Al-Farabi, kita tidak bisa mengatakan bahwa alam semesta ini teratur, canggih, dan bergerak dengan sendirinya. Meskipun banyak yang kontra terhadap proposisi Aristoteles, seperti filsuf barat Georges Lemaître yang mengatakan bahwa alam semesta ada karena ledakan Big Bang dan hukum kausalitas dari alam itu sendiri, teori ini dapat kita serang balik dengan logika yang sama. Jika alam semesta terjadi karena ledakan Big Bang, lantas siapa yang menata alam semesta setelah ledakan? Sesuatu yang meledak pasti berantakan. Kita bisa analogikan dengan sebuah bangunan yang dibom, pasti puing-puingnya akan berantakan, dan untuk merapikannya pasti ada yang mengatur. Begitu juga dengan alam semesta, tidak mungkin ia menata dirinya sendiri setelah ledakan sehingga planet-planet bisa tetap pada orbitnya. Pasti ada yang menata, dan sebab utamanya adalah Tuhan.
   Pertanyaan yang sering muncul: "Apa bukti bahwa Tuhan adalah causa prima yang menciptakan alam semesta ini?"
   Para filsuf muslim sering menggunakan premis tentang temporalitas alam (pembaharuan alam), bahwa alam ini bisa ada dari ketiadaan. Premis ini sekarang banyak digunakan dalam ilmu modern, yang menunjukkan bahwa alam pasti memiliki permulaan. Misalnya, kita bisa analogikan dengan sebuah buku. Buku itu ada dari ketiadaan, dan tentu ada yang mengadakannya. Begitu pula dengan alam semesta, pasti ada yang mengadakannya, dan sebab utama dari adanya alam semesta ini adalah Tuhan.
   Ada juga sebuah kisah di zaman Imam Abu Hanifah, di mana sekelompok kaum Sumaniyah yang ateis mengingkari eksistensi Tuhan. Mereka mengatakan bahwa alam semesta ini ada karena kebetulan—langit, bumi, gunung, dan lautan tercipta karena kebetulan. Suatu hari, mereka berdebat dengan Imam Abu Hanifah tentang eksistensi Tuhan, tetapi perdebatan tidak kunjung selesai. Imam Abu Hanifah meminta waktu beberapa hari untuk menunda perdebatan tersebut.
   Ketika hari perdebatan tiba, Imam Abu Hanifah datang terlambat. Orang-orang Sumaniyah langsung melontarkan pertanyaan: "Mengapa kamu terlambat? Kemarin kamu mengatakan bahwa Tuhan itu ada dan memperhitungkan semua amalmu. Mana buktinya?"
   Imam Abu Hanifah menjawab, "Saat hendak menyeberangi sungai, aku tidak menemukan perahu. Namun, tiba-tiba ada sesuatu yang aneh terjadi. Angin berhembus kencang, lalu petir menyambar sebuah pohon besar dan memotongnya menjadi dua. Potongan pohon itu jatuh ke sungai dan secara kebetulan terbentuk menjadi sebuah perahu. Kemudian, besi datang dan kapak terbentuk secara kebetulan untuk menghantam pohon itu, sehingga jadilah sebuah perahu yang lengkap. Perahu itu mendayung sendiri dan membawaku ke sini."
   Orang-orang Sumaniyah terheran-heran dan berkata, "Ceritamu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin perahu bisa tercipta secara kebetulan?" Imam Abu Hanifah tersenyum dan menjawab, "Subhanallah. Kalian mengatakan bahwa alam semesta ini, dengan segala keteraturannya, terjadi secara kebetulan. Tapi mengapa kalian tidak percaya bahwa sebuah perahu bisa tercipta secara kebetulan?"
   Jawaban tersebut membuat kaum ateis Sumaniyah terbungkam.
   Kisah ini menunjukkan bahwa alam semesta tidak tercipta secara kebetulan. Semuanya berjalan atas iradat Tuhan, yang menciptakan, mengatur, dan memelihara alam semesta ini. Oleh karena itu, kita sebagai manusia hendaknya selalu bersyukur kepadanya dengan menaati perintah-perintahnya dan menjauhi larangannya, agar kita mendapatkan ridha dan rahmatnya di hari akhir nanti.
 Â
 Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H