Mohon tunggu...
Alfajri Putra
Alfajri Putra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pemuda 22 tahun yang senang menulis dan mencintainya sebagai sebuah hobi. Sangat tertarik dengan kesusasteraan Indonesia. Mencoba belajar menjadi seorang penulis. Saat ini menjalani kesibukan sebagai mahasiswa tingkat 3 di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Untuk berkorespondensi dengan Penulis, dapat di hubungi melalui Email: alfajri.putra@gmail.com, Facebook: Alfajri Putra, dan Twitter: @alfajriputra91.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Be as a Russia; In Terms of Ukraine Conflict

5 Maret 2014   04:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:14 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DISCLAIMERThis post is made based on personal opinion and writer's thoughts. There is no any group interest here. This post is also published in writer's blog on: https://alfajriputra.wordpress.com/2014/03/04/be-as-a-russia-in-terms-of-ukraine-conflict/. ________________________ Rusia pada beberapa hari belakangan ini selalu menjadi headline pada kolom berita Internasional di hampir seluruh surat kabar baik cetak maupun elektronik di Indonesia. Intervensi-nya di konflik internal Ukraina menimbulkan banyak kecaman oleh pihak Internasional. Kecaman ini semakin bertubi-tubi menyusul dikabulkannya permintaan Vladimir Putin (Presiden Rusia) pada Parlemen Rusia (The Russian Parliament) untuk menggunakan kekuatan militer dengan mengirimkan 150.000 pasukan bersenjata ke perbatasan Ukraina di wilayah Crimea, sebuah daerah semi-otonom Ukraina (a semi-autonomous of Ukraine). Apa yang sebenarnya terjadi? [caption id="attachment_336" align="aligncenter" width="300" caption="Letak wilayah Crimea di negara Ukraina. [pic.source: google"]"][/caption] Sebelum kita membahas lebih lanjut, ada baiknya kita mengetahui dulu apa yang sebenarnya terjadi di Ukraina. Sedikit banyak yang tidak mengetahui begitu panas dan significant-nya konflik ini di Eropa Timur pada saat ini. Bahkan beberapa bulan terakhir Ukraina memanas. Konflik internal yang terjadi di negara ini menjadi semakin parah dan tak berujung. Konflik yang terjadi ini sebenarnya telah berlangsung lama, namun semakin parah setelah pada November 2013 ibu kota Ukraina–Kiev, berubah menjadi panggung protes oposisi yang menentang pemerintahan Ukraina yang dipimpin oleh presiden Yanukovich. Para demonstran yang menduduki ibu kota Kiev, dan juga beberapa kota di wilayah barat Ukraina seperti Oleg Salo, Cherkasy, Ivano-Frankivsk, Rivne, Ternopil, Khmelnytsky, Lustl, dan Chernivsti, adalah mereka yang menginginkan Ukraina menjadi bagian dari Uni Eropa. Sementara presiden Ukraina sendiri –Yaunkovich– adalah seorang pro-Rusia. Ukraine in a ‘dilemma’ condition Pada saat ini Ukraina adalah negara yang berdaulat. Negara ini mendapatkan kemerdekaannya setelah melepaskan diri dari Uni Soviet pada tahun 1991. Namun, bersama dengan Georgia, negara-negara bekas Yugoslavia, dan negara-negara lainnya yang tergabung dalam CIS (Commonwealth of Independent States) , Ukraina menjadi sasaran geopolitik dari Rusia dalam hubungannya dengan Asia Tengah dan Eropa Barat. Negara-negara leburan/bekas Uni Soviet tersebut memiliki peran yang sangat penting bagi Rusia sendiri. Untuk bisa mengendalikan negara-negara CIS, tentunya Rusia punya ‘Kartu As’ untuk mengontrol mereka dalam kaitannya bagi geopolitik Rusia. Ya, Kartu As yang dimaksud adalah Power. Dalam hubungannya dengan Ukraina, Rusia memiliki Power sumber daya energi. Rusia memang dikenal memiliki pasokan energi yang besar (gas alam dan minyak bumi) yang menjadi salah satu komoditas utama Rusia bagi hampir seluruh negara-negara di Eropa Barat, termasuk Ukraina. Ketergantungan Ukraina pada minyak dan gas Rusia sangatlah tinggi. Impor minyak dan gas Ukraina dari Rusia bahkan mencapai 80%. Selain itu di salah satu daerah di Ukraina sendiri terdapat pangkalan Angkatan Laut Rusia (setelah Uni Soviet pecah, Rusia menyewa tempat pangkalan ALnya dari Ukraina) . Tempat yang dimaksud adalah Crimea, sebuah daerah dimana dulunya adalah bagian dari Rusia, namun dihadiahkan oleh Nikita Kruschev kepada Ukraina pada masa Uni Soviet tahun 1954. [caption id="attachment_337" align="aligncenter" width="300" caption="Posisi strategis Ukraina (Crimea) dan Georgia di Laut Hitam [pic. source: google"]"]

[/caption] Masalah mulai terjadi ketika NATO berencana memperluas keanggotaannya ke Georgia dan Ukraina di tahun 2008. Hal ini tentu saja membuat berang Rusia, kenapa tidak? Karena dua negara tadi merupakan benteng terakhir Rusia terhadap Barat. Bisa dilihat pada gambar bahwa dua negara ini seakan menjadi benteng Rusia di Laut Hitam, dan memiliki pengaruh besar bagi pertahanan Rusia di bagian Barat-Selatan. Wajar saja Putin berusaha sekuat tenaga mengerahkan pasukannya demi mempertahankan kedua negara tersebut. NATO seakan ingin ‘melemahkan’ kekuatan Rusia dengan menggoda Ukraina dan Georgia untuk pindah haluan ke Uni Eropa (European Union). Terlebih ketika Ukraina mengalami penurunan ekonomi dalam beberapa tahun belakangan, yang seakan membuka jalan NATO untuk mempengaruhi Ukraina agar masuk Uni Eropa. Namun, NATO sendiri tidak bisa masuk mencampuri konflik internal ‘secara terang-terangan’ karena memang Ukraina semenjak lepas dari Uni Soviet merupakan anggota CIS. Setelah itu Ukraina-pun terpecah menjadi dua kubu. Rakyat yang mendiami Ukraina bagian barat condong diisi oleh para demonstran yang menginginkan Ukraina masuk ke Uni Eropa, sementara mereka yang mendiami wilayah timur masih memiliki rasa persaudaraan yang tinggi terhadap Rusia, karena memang mayoritas penduduk yang mendiami Crimea adalah keturunan Rusia, dan bahasa utama yang dipakai pun bahasa Rusia. Jelas bahwa tindakan yang dilakukan oleh Rusia di Crimea adalah suatu hal yang wajar jika kita melihat dari sisi historis dan kepentingan bagi Rusia sendiri. Jika bisa digambarkan, Ukraina seperti halaman belakang bagi Rusia, untuk itu Rusia turun tangan memperbaiki keadaan internal yang semakin parah di Ukraina. Namun, hal yang terjadi malah sebaliknya. Banyak kecaman dan sorotan kepada negara Rusia atas intervention-nya di Ukraina. Jika kita mau melihat lebih jauh dan dalam dari persoalan yang terjadi saat ini di Ukraina, kita harus bisa memposisikan diri melihat dari perspektif –yang tidak melulu– dari Barat, tapi juga dari Rusia itu sendiri. Media menyudutkan Rusia? Sudah menjadi hal yang lumrah di zaman sekarang ini ketika media seakan menjadi alat politik dan kendaraan bagi para pemilik kepentingan. Hal ini juga tampak terlihat pada pemberitaan konflik Ukraina secara global. Di Indonesia sendiri banyak sekali media baik cetak maupun online yang secara tersirat mencoba mengarahkan opini publik dengan menyudutkan Rusia atas intervensinya di Crimea. Negative propaganda yang dilakukan media yang disokong pro-Barat dan pro-U.S seolah memberitakan keburukan Rusia tanpa sekalipun melihat apa yang pernah dilakukan oleh U.S (sebagai contoh) di negara-negara konflik di –sebagai contoh– Timur Tengah. Intervensi U.S (Amerika Serikat) di negara-negara seperti Pakistan, Iraq, Libya, Syria, dan lain sebagainya merupakan hal nyata yang tak pernah disadari oleh pemerintahan Amerika sendiri. Terlebih ketika saya melihat Presiden Amerika Barack Obama pada 19 Februari 2014 lalu menyampaikan peringatan kepada pemerintah Ukraina untuk bertanggung jawab atas penindasan berdarah pada para pengunjuk rasa. Obama mengatakan: “Bila ‘seseorang’ akan bertindak melampaui batas, kita akan bekerjasama dengan sekutu kita di Eropa dan masyarakat internasional untuk bersama-sama menuntut pertanggungjawabannya, termasuk militer Ukraina dalam penanganan demonstran.” Adalah hal yang lucu ketika Obama berbicara mengenai HAM / Human Rights, namun negara-nya sendiri selalu ikut serta di hampir negara-negara konflik. Untuk itu rasanya sangat perlu mempelajari sebuah persoalan melalui dua perspektif. Meskipun media-media sokongan barat mengecam habis-habisan ‘perilaku’ Rusia dalam menggunakan militer dalam konflik di Ukraina pada berbagai media cetak dan online, kita tentunya harus mencari lebih dalam lagi informasi melalui dua sisi. Belajar membaca Rusia dengan menjadi Rusia Rusia telah lama dikenal sebagai negara yang memiliki kekuatan besar. Bisa kita lihat dari historis-nya dimana mereka (bangsa Rusia) telah mengalami pasang surut invasi dan ekspansi oleh pihak-pihak eksternal seperti Mongol di abad ke-11 dan Napoleon di tahun 1812. Pada tahun 1917 dimana terjadi Revolusi Bolshevik, yang setelah itu terjadi perang sipil di Rusia pada tahun 1918-1922, Rusia berhasil mengekspansi wilayahnya dengan mengalahkan Ukraina, Belarus, Azerbaijan, Gergia, dan Armenia yang akhirnya membentuk Union of Soviet Socialist Republic (USSR) atau disingkat Uni Soviet. Pencapaian terbesar Rusia ini menjadikan wilayahnya sangat luas dan sangat besar sehingga menyandang status sebagai negara superpower sampai tahun 1990an. Karakter ekspansionis Uni Soviet pada masa lalu seakan masih ada dan hidup di dalam diri Rusia itu sendiri, dimana terlihat jelas dalam strategi geopolitik-nya yang pada saat sekarang dilakukan dalam bentuk yang lebih soft, yaitu influence terhadap former Uni Soviet countries (atau negara-negara yang dulunya pernah menjadi bagian dari Uni Soviet). Kita bisa melihat bagaimana pada saat ini Ukraina, Georgia, negara-negara bekas Yugoslavia dan negara CIS lainnya menjadi alat bagi geopolitik dan geostrategi Rusia di Asia Tengah dan EEC (European Economic Community). Lebih lanjut, salah satu alasan Rusia mempertahankan Ukraina selain pertahanan adalah di Ukraina terdapat pipelines yang menghubungkan Minyak dan Gas alam Rusia dengan Eropa Barat. Pipelines ini melintasi negara Ukraina, dan menjadi tempat transit pengiriman gas sebelum didistribusikan ke negara-negara di Eropa Barat. Seperti yang kita ketahui, sumber daya alam Rusia ini merupakan salah satu komoditas ekspor utama dan terpenting Rusia. Untuk itu Rusia sangat perlu menjaganya. Selain itu bisa dikatakan bahwa, Rusia masih menginginkan Ukraina dan Georgia menjadi bagian dari CIS, karena menurut Rusia: Uni Eropa beserta NATO masih menjadi sebuah ancaman. Kita bisa melihat bagaimana dulu NATO dibentuk sebagai upaya tandingan melawan PAKTA WARSAWA, namun sekarang yang terjadi PAKTA WARSAWA telah bubar, namun “Mengapa NATO masih bertahan?” Pembentukan CIS sendiri merupakan bagian dari geopolitik dan geostrategi Rusia dalam menjaga negara-negara eks-Uni Soviet terikat menjadi satu dalam pengaruh Rusia. Hal-hal inilah yang akhirnya membuat Rusia masih menginginkan CIS agar menjadi penyeimbang NATO di dunia. ________________________ Commonwealth of Independent States (CIS) adalah sebuah organisasi kerjasama berbagai bidang bagi negara-negara yang sebelumnya tergabung dalam Uni Soviet. CIS didirikan pada tahun 1991. CIS ini tidak memiliki supranasional dan interaksi antar anggota dilakukan melalui institusi-institusi terkait. Sementara itu terdapat juga negara-negara di Asia Tengah yang dulunya pernah bergabung dengan Uni Soviet seperti: Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan, Kazahkstan, dan Turkmenistan. ________________________ DAFTAR ACUAN REFERENSI: 1. http://www.forbes.com/sites/gregsatell/2014/03/01/5-things-you-should-know-about-putins-incursion-into-crimea/ 2. http://www.jpnn.com/read/2014/01/26/213135/Adu-Kepentingan-di-Pusaran-Konflik-Ukraina- 3. http://rt.com/news/crimea-facts-protests-politics-945/

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun