Kualitas suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Kualitas sumber daya manusia tersebut diperoleh melalui sebuah proses yang dinamakan pendidikan. Jadi ketika proses pendidikannya baik maka hasil dan mutu lulusannya, sumber daya manusia suatu bangsa, pun akan baik. Disini perlu digarisbawahi tentang kata proses. Nah, untuk melakukan penilaian terhadap mutu dari proses tersebut diperlukanlah sebuah kegiatan yang dapat mengukurnya. Mengukur dalam artian disini bukan hanya hasil dan mutu dari proses tersebut melainkan juga prosesnya. Ini yang penting. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Sistem Pendidikan di Indonesia sudah di atur dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan juga beberapa peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri (permen) yang merupakan turunan lanjutan penjelasan atau penjabaran mengenai petunjuk dan implementasi dari UU Sisdiknas tersebut. Dengan demikian setiap proses pendidikan mulai dari awal hingga akhir sudah diatur oleh pemerintah. Nah, aturan sudah ada tapi bagaimana penafsiran hingga implementasi dari aturan-aturan yang dibuat tersebut?
Ujian Nasional, Implementasi dan Legitimasinya
Di Indonesia, sejak tahun 2005, suatu alat untuk mengukur mutu pendidikan adalah Ujian Nasional (UN). UN telah menjadi komponen utama dalam penentu kelulusan. Meskipun presentasenya berubah untuk mempengaruhi nilai kelulusan dalam beberapa tahun terakhir namun UN tetaplah menjadi acuan utama dalam menentukan kelulusan. Dengan menaikan standar kelulusan dari tahun ke tahun pemerintah berharap mutu pendidikan Indonesia juga akan meningkat. Benarkah demikian?
Tidak. Penulis menganggap tidak. Tidak untuk peningkatan mutu proses pendidikan dan tidak juga untuk meningkatkan mutu lulusan. Kita semua sudah tahu, UN yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2005 sama sekali tidak membawa perubahan ke arah perbaikan terhadap pendididikan Indonesia. Baik dari segi sistem maupun lulusannya. UN merupakan ajang untuk mempertontonkan buruknya sistem pendidikan kita miliki. Anda tahu sendirilah keburukan-keburukan apa yang terjadi, tidak perlu penulis uraikan di sini. Bak sebuah kaset usang yang diputar berulang-ulang setiap tahun. Dengan pendengar (baca : rakyat) yang sama, alat pemutar radio tape (baca : pemerintah) yang sama, namun operatornya (baca : peserta didik UN) saja yang berbeda dari tahun ke tahun.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pelaksanaan UN hanya digunakan untuk menentukan lulus atau tidaknya seorang perserta didik. Lalu bagaimana dengan penilaian terhadap prosesnya. Proses yang dijalankan oleh setiap peserta didik selama ia duduk di bangku pendidikan selama tiga tahun. Ah, entahlah. Setahu penulis dan dapat kita sepakati bersama bahwa untuk melihat hasil dari sesuatu hal maka yang perlu dilihat bagaimana proses dari hulunya hingga ia berjalan sampai ke hilir. Jadi di sini bisa kita artikan bahwa penilaian terhadap mutu pendidikan nasional bukan hanya dilakukan dihilir saja dengan menetapakan standar kelulusan peserta didik tetapi juga proses dari hulu awal pendidkan tersebut hingga proses sampainya ke hilir. Kita pasti sepakat bahwa untuk meningkatkan suatu hasil bukan menaikan standar yang tinggi tetapi meningkatkan standar proses yang sesuai.
Kita kembali lagi pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah mengenai Sistem Pendidikan Nasional yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 2003. Berdasarkan pendapat ahli hukum yang penulis baca dan pahami bahwa dalam UU No. 20 Tahun 2003 sama sekali tidak mengatur secara spesifik pelaksanaan UN. Namun yang disebutkan hanyalah kata evaluasi yang terdapat pada pasal 57-59. Pelaksanaan UN sebagai instrumen evaluasi pendidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Ditambah lagi dengan dikelurkannya Peraturan Menteri yang mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan UN hampir pada setiap tahunnya. Maka dapat kita simpulkan bahwa pelaksanaan UN mempunyai legitimasi yang kuat.
Restorasi Ujian Nasional
Beberapa hari yang lalu munculah pernyataan dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan, bahwasannya ada wacana Ujian Nasional akan diganti menjadi Evaluasi Nasional. Namun ia belum menjelaskan lebih jauh mekanismenya. Dimana pada saat ini hal tersebut sedang dibahas oleh para stakeholder pendidikan. Menanggapi wacana ini penulis merasakan ada sebuah restorasi terhadap ujian nasional. Hal yang paling fundamental ialah kesesuaian antara pelaksanaan UN dengan dasar hukum yang mengatur pelaksanaan pendidikan nasional, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ujian nasional akan dikembalikan fungsinya sebagai salah satu evaluasi dalam pendidikan. Tidak hanya evaluasi terhadap peserta didik tetapi juga terhadap guru dan kepala sekolah, satuan pendidikan, serta proses-prosesnya.
Lalu apa perbedaan ujian dan evaluasi? Di sini penulis mengambil pernyataan dari Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti. Menurutnya bahwa ujian dan evaluasi itu berbeda. Ujian itu berimplikasi lulus atau tidak, sedangkan evaluasi adalah proses penilaian yang bersifat kualitatif. Evaluasi itu melekat dalam pelaksanaan suatu program. Jika UN akan dijadikan alat evaluasi maka harusnya tidak berimplikasi pada kelulusan. Berdasarkan pendapatnya tersebut jelaslah bahwa restorasi UN sangat diperlukan karena pelaksanaan UN saat ini sudah jauh melenceng dari apa yang sudah diatur untuk kemudian dicapai. Entah ini kepentingan siapa, siapa yang paling untung dan siapa yang buntung oleh pelaksanaan UN, langkah dari Pak Anies Baswedan patut diacungi jempol. Namun sampai saat tulisan ini rampung penulis masih menunggu hasil dari keputusan tentang pergantian Ujian Nasional menjadi Evaluasi Nasional. Bahkan ada sebuah sumber yang penulis baca sudah menyebutkan jadwal dan tanggal pasti ujian nasional. Dalam sumber tersebut jadwalnya sudah pasti, tinggal ditandatangani saja supaya sah. Entahlah, mana yang benar. Apakah UN 2015 tahun ini akan diganti atau tidak mari kita tunggu.
Disisi lain penulis pun menyadari bahwa implementasi kebijakan tersebut tak semudah membalikan telapak tangan, butuh proses dan kajian yang panjang dan mendalam untuk mengubah Ujian Nasional menjadi Evaluasi Nasional. Penulis juga beranggapan bahwa Pak Anies, menteri di Kabinet Indonesia Bangkit Preseiden Jokowi, ingin berhati-hati dalam mengambil suatu kebijakan disebabkan ia tidak ingin bahwa gagasan dan program yang dilakukannya mempunyai kesan “pokonya beda” dengan pemerintahan era SBY. Seperti diketahui program Bantuan Siswa Miskin (BSM) di era SBY, diganti menjadi program Kartu Indonesia Pintar (KIP) di era Jokowi. Kemudian program BPJS Kesehatan didompleng program Kartu Indonesia Sehat (KIS). Lalu program keluarga harapan (PKH) di era SBY, diganti menjadi kartu simpanan keluarga sejahtera (KSKS). Namun di sini penulis tetap yakin dengan komitmen dan dedikasi seorang Anies Baswedan untuk memperbaiki pendidikan nasional ke arah yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H