Saat ini merupakan sebuah era dimana persaingan untuk mendapatkan sesuatu hal sangat ketat. Kompetisi yang terjadi benar-benar membutuhkan kualitas yang sangat tinggi apabila kita hendak memenangkannya. Kualitas yang dipakai pun harus menjadi acuan standar yang bisa digunakan dimanapun. Salah satu yang paling dibutuhkan dalam memenangkan era globalisasi ini adalah pendidikan. Dalam kata lain kualitas pendidikan harus mencapai standar baku yang diakui secara menyeluruh dan output-nya bisa “digunakan” dimana saja. Bolehlah kita sebut sebagai kualitas standar internasional. Hal ini dilakukan agar hasil dari lulusan pendidikan yang berstandar internasional itu mampu bersaing dengan lulusan-lulusan yang lain.
Dampak dari globalisasi pun tak terelakan bagi negara kita, Indonesia. Maka untuk meningkatkan kualitas dan daya saing manusia Indonesia di mata dunia, hal yang pertama kali dilakukan adalah membuat suatu “pabrik” yang mempunyai suatu sistem dimana dapat mencetak manusia unggul, berkompeten, dan berdaya saing tinggi. Boleh jadi “pabrik” tersebut kita sebut dengan sekolah, yang mana diatur dalam sebuah sistem pendidikan. Lalu bagaimanakah kualitas pendidikan kita?
Untuk dapat menyamakan kualitas pendidikan kita dengan standar internasional yang akan menghasilkan lulusan yang unggul dan dapat bersaing secara global maka diperlukanlah suatu sistem penilaian yang mengacu pada standar internasional itu sendiri. Sehingga apabila sistem penilaian itu sudah dilakukan dan diperoleh hasilnya maka kita akan mengetahui sejauh mana perbandingan kualitas sistem pendidikan kita terhadap sistem pendidikan yang menjadi standar internasional tersebut. Pada akhirnya kita akan menyesuaikan sistem pendidikan kita dengan sistem pendidikan standar internasional.
Salah satu hal yang dilakukan untuk mengukur kualitas pendidikan kita terhadap standar pendidikan internasional adalah dengan menggunakan acuan tes-tes berskala internasional. Diantaranya PISA (Program for International Student Assessment), TIMSS (Trends in International Mathematics Science dan Study), dan PIRLS (Progress in International Reading and Literacy Study). Berdasarkan hasil dari ketiga tes yang menjadi acuan standar internasional tersebut peringkat Indonesia selalu berada pada kasta bawah (untuk data silahkan googling di internet). Hal ini mengartikan bahwa kualitas pendidikan yang kita jalankan jauh dari standar internasional. Lebih jauh lagi kualitas lulusan yang akan dihasilkan nanti juga tidak memenuhi standar yang dinginkan oleh internasional. Dengan kata lain bahwa sistem pendidikan kita sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Maka dari itu untuk meningkatkan kualitas pendidikan agar sesuai dengan tuntutan zaman maka pengubahan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dinggap perlu dan “ sangat mendesak”. Lalu dilahirkanlah sebuah kurikulum baru yang sesuai dengan standar kualitas sistem pendidikan internasional yaitu Kurikulum 2013 (K13) dengan tujuan agar manusia-manusia Indonesia mempunyai daya saing di tingkat internasional. Pantaskah demikian? Sebelum kita menilai pantas atau tidaknya marilah kita bahas sedikit tentang PISA, TIMSS, dan PIRLS.
Untuk mengatur masalah pendidikan internasional, PBB mendirikan sebuah badan khusus bernama UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization). Berkenaan dengan tes PISA, TIMSS, dan PIRLS yang berskala internasional ini sesungguhnya bukanlah sebuah program dari UNESCO itu sendiri. Melainkan dari sebuah organisasi khusus yang didirikan PBB untuk menangani masalah perdangan di dunia, WTO (World Trade Organization). Mengapa bisa demikian??
WTO selaku badan yang menangani masalah perdagangan di dunia mengintervensi negara-negara anggotanya untuk meliberalisasi semua sektor jasa, termasuk jasa pendidikan. Hal ini dilakukan WTO karena para anggotanya yang terdiri dari negara-negara maju yang tergabung dalam OECD (Organization for Economic and Development) melakukan intervensi untuk meliberalisasi jasa pendidikan dengan cara deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi sektor pendidikan. Salah satunya adalah dengan mengadakan tes PISA, TIMSS, dan PIRLS yang menjadi standar acuan pendidikan internasional. Tes-tes tersebut telah menjadi sebuah bentuk kapitalisasi pendidikan yang mana WTO sudah mengambil peran dari UNESCO dalam mengarahkan pendidikan di tingkat internasional. Dapat kita bayangkan sebuah sistem pendidikan dibuat sebagai sebuah sistem ekonomi yang berarti diperdagangkan. Suatu sistem pendidikan yang mampu menghasilkan manusia seutuhnya diubah menjadi sebuah sistem yang dapat menghasilkan keuntungan dalam bentuk materi.
OECD melalui Bank Dunia akan menawarkan bantuan dalam bentuk pinjaman dana kepada negara yang mempunyai skor rendah untuk melakukan perbaikan terhadap kualitas pendidikan, termasuk perubahan kurikulum. Di samping itu juga perlu kita ketahui bahwa penyelenggaraan tes PISA, TIMSS, dan PIRLS tidak dilakukan dengan cuma-cuma, sangat banyak dana yang dihabiskan apalagi untuk wilayah Indonesia yang seluas ini. Tentunya sekian persen dari anggaran dari APBN yang diamanahkan oleh UUD 1945 menjadi sia-sia karena penggunaannya hanya dijadikan sebagai bentuk kegiatan pendidikan yang tak jelas arahnya, hanya menjadi sebuah komoditas yang dapat diperjual-belikan atas nama pendidikan. Jika saja negara kita bijak dana yang dikeluarkan untuk kegiatan-kegiatan pendidikan tersebut dapat kita peroleh secara cuma-cuma melalui dana hibah yang dilimpahkan oleh UNESCO.
Lebih jauh lagi hal yang paling parah adalah acuan dari tes yang syarat dengan kepentingan neoliberalisme ini dijadikan acuan dasar dalam menentukan arah dan sistem pendidikan di Indonesia, dasar perubahan KTSP ke Kurikulum 2013. Inilah bukti bahwa pendidikan kita sudah masuk dalam jebakan kapitalisme. Perlu kita ketahui bahwa pada saat tes tersebut diselenggarakan di Indonesia, sekolah-sekolah yang menjadi ruang sampel bukanlah sekolah elit dan berkualitas yang berada di wilayah sekitaran Jakarta, Jawa, maupun Bali. Melainkan sekolah-sekolah yang dipilih secara acak oleh tim penilai. Kita harus sadari bahwa kualitas pendididkan di Indonesia belum merata baik dari segi kualitas dan fasilitas antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jadi intinya ketika sekolah yang tertinggal dari segi kualitas dan fasilitas terpilih secara acak untuk menjadi ruang sampel dari tes-tes tersebut sangatlah tidak relevan.
Selain itu juga kita adalah bangsa Indonesia mempunyai ciri khas tersendiri sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya. Kita mempunyai identitas tersendiri untuk membangun negeri kita sesuai dengan potensi dan kemampuan khas yang kita miliki. Sangat tidak pantas membandingkan standar yang kita punya dengan standar yang dipakai oleh orang lain yang cocok dengan dengan diri mereka sendiri. Lagipula seorang tokoh pendidikan nasional kita, KI Hajar Dewantara, telah berpesan pada kita bahwa pola pendidikan yang dijalankan harus sesuai dengan nilai-nilai kultural yang dianut oleh bangsa kita sendiri. Sehingga kelak apa yang akan dihasilkan oleh pendidikan itu mampu membangun bangsanya sendiri sesuai dengan potensinya. Berdasarkan hal tersebut jelaslah bahwa Kurikulum 2013 bukan sebuah jawaban dari masalah-masalah pendidikan yang dihadapi bangsa ini.
Berkenaan dengan uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa apapun bentuk dari perubahan sistem pendidikan yang dituangkan dalam perubahan kurikulum hasilnya tidak akan bisa memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia jika hal yang melatarbelakanginya hanyalah sebuah bentuk neoliberalisme pendidikan. Sistem pendidikan sudah dijadikan sebuah komoditas yang bisa diperdagangkan dalam bentuk kapitalitalisasi pendidikan. Hingga pada akhirnya generasi penerus bangsa ini yang dihasilkan melalui proses pendidikan sedemikian itu tidak akan mampu membangun bangsanya ssendiri karena tidak mengenal akan kebesaran bangsa dan kekayaan budayanya sendiri, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H