Tidak dapat dimungkiri desa adalah kesatuan masyarakat yang mampu mandiri dari gempuran modernisasi. Di Bali, ada dua jenis desa yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat, yakni Desa Dinas (Administrasi) dan Desa Pakraman (Adat). Kekuatan dan kebersamaan kedua desa tersebut sangat ditentukan oleh adanya kesamaan persepsi dan kesatuan langkah dari masyarakatnya untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan. Kedua jenis desa tersebut dapat diibaratkan sebagai ular berkepala dua. Terdapat dua kepala (pemimpin), yakni Perbekel sebagai kepala desa dinas dan Bendesa sebagai kepala desa pakraman. Sedangkan badannya adalah satu, yakni warga masyarakat desa. Oleh karena itu, pemimpin dari kedua jenis desa tersebut hendaknya bergerak pada arah dan tujuan yang sama. Karena, jika kepala itu bergerak berlawanan niscaya akan menyebabkan ketegangan dari warga masyarakat. Dan, ketegangan adalah awal dari munculnya konflik, baik horizontal maupun vertikal. Agar ketegangan ini dapat dihindari dan dicarikan solusinya, maka sangat diperlukan adanya ruang publik desa sebagai area untuk berkomunikasi dan berkoordinasi. Ruang publik desa dimaksud haruslah dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh semua komponen desa demi kesejahteraan dan kedamaian.
Berkaitan dengan hal tersebut, ruang publik desa adalah tempat atau lokasi yang sangat strategis sebagai tempat mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, dan mewujudnyatakan tujuan atau cita-cita pembangunan di desa. Di lokasi itulah komunikasi dan koordinasi dari berbagai kalangan dapat dilakukan baik secara formal maupun nonformal. Agar komunikasi dan koordinasi dapat berlangsung dengan cair, maka diperlukan suasana ruang publik yang luas, nyaman, tenang, indah, dan menyejukkan. Ruang publik yang representatif, diyakini akan mampu menghadirkan situasi dan kondisi yang penuh dengan kebersamaan dan kekeluargaan. Kondisi ini juga diyakini mampu memicu dan memacu terciptanya ketentraman, kesejahteraan, dan kedamaian di kalangan masyarakat desa. Jadi keberadaan ruang publik tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Fakta di lapangan menunjukkan, terlalu banyak desa-desa di NKRI pada umumnya dan di Bali pada khususnya yang nihil ruang publik. Bahkan kondisi desa-desa di pinggiran kota, terkesan sudah sangat sesak dan kumuh. Rumah-rumah berdekatan, dan bahkan berdempetan, gang-gang kecil dengan tembok-tembok tinggi di kiri kanan, menghadirkan suasana sempit dan sumpek. Tidak ada sawah yang luas, ladang hijau, apalagi lapangan rumput tempat bermain anak-anak dan keluarga bercengkrama. Semua menampakkan kesan berdesak-desakan. Kondisi ini akan mempengaruhi psikologi masyarakat di sekitarnya. Di mana, masyarakat cenderung menjadi individualistik, kapitalistik, dan konsumtif.
Tidak terlihat ada kebersamaan, apalagi kegotongroyongan. Bahkan, antartetangga yang hanya dipisahkan oleh tembok saja tidak pernah saling mengenal. Sungguh kehidupan masyarakat yang sangat individualistik. Semua aktivitas hanya untuk kepentingan pribadi dan cenderung bersifat sesaat. Akhirnya, dalam jangka panjang tidak akan ada lagi komunikasi antarmasyarakat. Artinya, di kemudian hari ruang publik tidak lagi menjadi kebutuhan untuk berinteraksi antarwarga. Kondisi yang sangat potensial menimbulkan kehancuran berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Kondisi inilah yang hendaknya disadari oleh semua pihak, untuk selanjutnya segara bertindak melakukan perubahan demi generasi mendatang dan lingkungan sekitar.
Mengapa dari Desa?
Lalu, dari manakah isu ruang publik ini seharusnya digulirkan? Jawaban pertama dan utama adalah dimulai dari desa, baik desa dinas maupun desa adat. Mengapa dari desa? Paling sedikit terdapat tiga alasan. Pertama, desa adalah asal mula lahirnya kota. Semua penduduk kota sesunguhnya berasal dari desa. Oleh karena itu, ketika isu ruang publik desa itu telah dikumandangkan dan diwujudnyatakan di desa-desa, maka secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh terhadap kebutuhan ruang publik di kota. Artinya, ruang publik desa secara langsung akan menjadi ruang publik kota. Kedua, desa adalah tulang punggung perkembangan kota. Sehingga, berbagai kebutuhan masyarakat kota sangat bergantung dari desa.
Hal ini juga, berdampak terhadap kebutuhan adanya ruang publik di kota. Kebiasaan dan keharusan adanya ruang publik di desa akan menjadi kebiasaan dan keharusan adanya ruang publik kota. Akibatnya, kota akan tumbuh dengan ruang publiknya. Ketiga, desa adalah pusat aktivitas pertanian dan perkebunan dan kota sebagai pusat administrasi dan birokrasi. Dengan demikian keberadaan ruang publik desa adalah sebagai tempat untuk melepas lelah dan berkomukiasi setelah bekerja seharian di sawah atau di kebun. Hal yang sama juga terjadi di kota, di mana ruang publik kota menjadi urgen dan strategis untuk menghilangkan kejenuhan setelah seharian penuh para birakrat beraktivitas di kantor. Dengan demikian, kehadiran ruang publik desa dan kota adalah untuk menyegarkan kembali fisik dan psikis masyarakat setelah melakukan aktivitas.
Ruang Publik Desa di Bali
Nihilnya ruang publik atau ruang publik yang belum tertata di Bali, hendaknya menjadi tanggung jawab bersama desa dinas dan desa adat. Kedua desa harus saling mendukung dan memberikan penguatan terhadap keberadaan ruang publik desa. Ada tiga upaya yang dapat dilakukan. Pertama, desa dinas dan desa adat dapat menyusun aturan bersama untuk mengadakan atau menata ruang publik desa. Kesepakatan bersama ini haruslah dengan melibatkan sabanyak-banyaknya masyarakat. Aturan-aturan dibuat dalam konteks dari, oleh, dan untuk masyarakat desa. Selanjutnya, aturan tentang ruang publik desa dimaksud dapat dituangkan dalam bentuk peraturan desa (perdes) dan awig-awig desa atau prarem. Sehingga, keberadaan ruang publik desa diayomi secara dinas dan adat. Kedua, meumbuhkembangkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keberadaan ruang publik desa. Dalam hal ini masyarakat diberikan pemahaman yang utuh tentang pemanfaatan ruang publik desa. Seperti, tempat bermain anak-anak, aktivitas keluarga, pertemuan kelompok-kelompok masyarakat, baik resmi maupun tidak resmi.
Semua komponen masyarakat dapat memanfaatkan dengan tetap mematuhi aturan yang telah disusun dan disepakati. Kondisi ini diyakini, akan berdampak terhadap tumbuhnya rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan di kalangan masyarakat desa. Ketiga, memberdayakan semua komponen desa dinas dan desa adat. Dalam konteks ini kekuatan kedua desa harus digerakkan secara bersinergi untuk mengelola ruang publik desa. Misalnya, dari komponen desa dinas menggerakkan hansip, linmas, karang taruna, dan PKK. Sedangkan dari desa adat menggerakkan pecalang, sekeha teruna-teruni, dan kelompok-kelompok kesenian lainnya. Pemberdayaan ini dilakukan dalam kerangka untuk meningkatkan kesadaran di kalangan masyarakat tentang pentingnya peran, fungsi dan manfaat kebaradaan ruang publik desa. Jika kondisi ini dapat diwujudnyatakan maka lahirnya ruang publik desa dan ruang publik kota bukanlah sekadar mimpi. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H