Pil pahit berupa kekerasan merupakan sesuatu yang sulit dihindari bagi kelompok perempuan Palestina yang bertempat tinggal di Israel. Jumlah kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan secara intensional karena mereka adalah perempuan atau biasa yang disebut dengan femisida mengalami peningkatan dalam satu dekade terakhir, tepatnya terhadap kelompok perempuan Palestina di Israel. Dalam periode 2011-2020, 95 perempuan Palestina dibunuh oleh pasangannya kerabat laki-laki lainnya (Kayan Feminist Organization, 2021). Merujuk pada statistik oleh Kepolisian Israel, dalam periode 2015-2020, 149 perempuan telah dibunuh di Israel yang mana 65%-nya merupakan perempuan Arab yang hanya menempati sebagian 21% dari total seluruh perempuan di Israel. Secara umum, laporan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan Arab di Israel pada tahun 2020 telah mengalami peningkatan sebesar 40% dibandingkan sebelumnya (Kayan Feminist Organization, 2021).
      Femisida sendiri merupakan bentuk kejahatan tersendiri yang motifnya berkaitan dengan struktur sosial patriarki, utamanya untuk melanggengkan inferioritas dan subordinasi perempuan terhadap laki-laki dan melegitimasi kekerasan terhadap perempuan. Menurut Kelly, elemen penting dari konsep femisida adalah pembingkaiannya sebagai bentuk kekerasan seksual dan bentuk kekerasan ekstrem dalam kontinum kekerasan seksual terhadap perempuan (Kelly dalam Grzyb, Magdalena, et al., 2018). Lebih lanjut, Kelly menyatakan bahwa femisida merupakan aksi yang menonjolkan sifat alami gender oleh pria melalui cara kekerasan terhadap perempuan dalam rangka memperoleh kekuasaan, dominasi, dan kendali.
Dalam konteks spesifik masyarakat Palestina di Israel, femisida dihasilkan dari kebijakan opresif dari negara Israel yang bersinggungan dengan lingkungan sosial patriarki. Oleh karena itu, perempuan Palestina mengalami penindasan secara tumpang tindih, yakni sebagai kelompok minoritas dalam negara Yahudi religius-nasionalistik dan sebagai perempuan dalam masyarakat patriarki. Itu ditambah lagi dengan adanya konflik Israel-Palestina yang intensitasnya meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Menurut Hilary Charlesworth dan Christine Chinkin, kontruksi sosial dan gender yang berkombinasi dengan posisi ekonomi dan sosial perempuan yang secara umum subordinat akan menghasilkan penderitaan terhadap perempuan baik selama konflik berlangsung ataupun setelahnya (Charlesworth dan Chinkin dalam Lasut, Rosyidin, & Hanura, 2022)
Berdasarkan analisis Kayan-Feminist Organization terkait peran lembaga negara Israel, seperti Kepolisian Israel, Kejaksaan Negara, dan Kementerian Kehakiman, terdapat pengabaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara tersebut saat didapati kasus kekerasan terhadap perempuan di Israel, utamanya perempuan Palestina. Beberapa orang yang mereka wawancarai bahkan mengaku polisi bekerja sama dengan pelaku kekerasan. Kesaksian tersebut makin mempertegas tren nasional berupa diskriminasi yang melembaga oleh lembaga negara, dalam konteks ini kepolisian, terhadap masyarakat Palestina, utamanya perempuan. Buruknya penanganan yang dilakukan oleh aparat negara Israel terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan Palestina di antaranya ditunjukkan oleh adanya praktik pembebasan bersyarat dini pelaku kekerasan, kegagalan secara terus menerus dalam memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi sasaran ancaman, dan adanya permohonan berupa tawar-menawar untuk mengurangi masa tahanan di dalam persidangan (Kayan Feminist Organization, 2021).
Data dari Knesset Research and Information Center menunjukkan bahwa penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan Palestina di Israel cenderung lebih lambat dan banyak yang belum terselesaikan dibandingkan dengan penyelesaian kasus pembunuhan atau kekerasan terhadap perempuan Yahudi (Knesset Research and Information Center dalam Kayan-Feminist Organization, 2021). Berdasarkan pencarian data oleh Kayan terkait pembunuhan terhadap perempuan Palestina melalui tiga institusi yang sudah disebutkan sebelumnya, institusi kepolisian juga cenderung menutupi informasi apapun terkait kasus pembunuhan yang terjadi di tahun 2015-2020 dan mengarahkan Kayan untuk merujuk ke Kementerian Kehakiman. Namun, kementerian tersebut pun meresponsnya dengan mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat memberikan informasi mengenai hal tersebut.
      Diskriminasi hukum terhadap perempuan, terutama dari kalangan non-Yahudi tersebut bukanlah sesuatu yang aneh bagi negara Israel mengingat itu merupakan negara yang sangat mengistimewakan agama Yahudi dalam urusan hukumnya dan secara sosial-budaya bersifat patriarkis. Israel sendiri merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya berasal dari kalangan Yahudi (Halperin-Kaddari, 2000). Pada tingkat legal-formal, agama yahudi memiliki pengaruh yang siginfikan dalam pembentukan identitas kolektifnya melalui kombinasi undang-undang kewarganegaraan, imigrasi, dan status pribadi (Halperin-Kaddari & Yadgar, 2010).
Salah satu undang-undang terpenting di Israel adalah Undang-Undang Pengembalian tahun 1950 yang menyatakan bahwa “Setiap orang Yahudi berhak datang ke Israel sebagai imigran dan mengadopsi definisi ortodoks-religius tentang siapa yang ‘seorang Yahudi’ sebagai kriteria untuk hak kembali (Halperin-Kaddari & Yadgar, 2010). Undang-undang pengembalian merupakan bagian dari status pribadi keagamaan rezim yang lebih besar. Secara singkat, adanya undang-undang tersebut telah membuat kesenjangan antara kalangan Yahudi dan kalangan non-Yahudi (Arab) di Israel, terutama karena perlunya pemaksaan etno legal-formal eksternal sampai batas tertentu.
Sementara itu, ketika membahas tentang kesetaraan gender dan status perempuan di Israel, aturan agama dan masalah status pribadi memiliki konsekuensi yang signifikan, apalagi jika dikaitkan dengan implikasi gender dari konflik nasional (Halperin-Kaddari & Yadgar, 2010). Adanya konflik Arab-Israel dan ketakutan Yahudi-Israel atas ancaman demografis yang ditimbulkan oleh masyarakat Arab menjadi faktor penentu bagi pandangan dan keberadaan perempuan di Israel. Itu menyebabkan juga peran perempuan di Israel lebih sebagai ibu ditetapkan di sana sebagai status sipil. Tidak hanya dilihat secara biologis, perempuan juga dilihat sebagai penerus identitas yahudi akibat sifat matrilineal Yahudi. Pandangan-pandangan tersebut oleh karenanya makin memperkuat diskriminasi dari orang-orang Israel terhadap perempuan Palestina di sana.
Secara umum, perempuan non-Yahudi, arab, ataupun Palestina yang ada di Israel merupakan kelompok yang rentan terhadap diskriminasi. Data dalam satu dekade terakhir menunjukkan bahwa kasus femisida meningkat cukup signifikan di Israel, utamanya terhadap perempuan di Palestina. Faktor-faktor seperti politik dan sosio-kultural memiliki pengaruh dalam eksistensi hal tersebut. Itu ditambah lagi dengan adanya konflik Arab-Israel yang membuat orang Israel-Yahudi takut akan habisnya generasi Yahudi di negara tersebut. Selain itu, konflik tersebut juga telah membuat permasalahan sosial penting lain yang ada di Israel jadi dikesampingkan, seperti kesetaraan gender. Dengan demikian, itu juga secara tidak langsung berkontribusi pada banyaknya tindakan diskriminatif terhadap perempuan di Israel. Pelajaran yang bisa diambil untuk Indonesia dalam melihat fenomena tersebut menurut saya adalah penegakan hukum yang harus setara dan pembuatan produk hukum yang mengakomodasi semua agama.
DAFTAR PUSTAKA
Grzyb, M., Naudi, M., & Marcuello-Servos, C. (2018). Femicide across Europe. Bristoll: Bristoll University Press.