Siapakah engkau?
Pertanyaan itu selalu menetap dalam otakku. Sesekali ia menyeruak keluar dan lain kali ia bersembunyi di tempat yang paling gelap. Ketika ia menampakkan diri kejut listrik selalu menyengat selama sepersekian detik. Membuyarkan fokus dan mengacaukan pikiranku. Teriakan kotor dan ratapan tak terperi selalu terucap saat ia muncul.
“Siapakah engkau wahai penyusup pikiran? Sunguhkah engkau adalah bagian diriku? Jika engkau memang sang penyusup, maka enyahlah sekarang. Tetapi jika engkau memang bagian diriku, bersatulah denganku dan mari kita berkompromi”, gumamku dalam hati.
Hening. Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya nafasku yang memburu di tengah kamarku yang gelap gulita.
“Hei! Bangsat! Anjing!”, teriakku sekuat tenaga. Seketika dinding kamarku menyempit terasa hendak menjepitku. Rasa gatal menghampiri rambutku, lalu kugaruk dengan cepat dan bertenaga. Tiba-tiba telingaku berdengung dan kepalaku terasa berat ada sesuatu di dalamnya sepertinya darah mengalir dari seluruh tubuh menuju otak. Kukepal kedua tangan lalu kuhantam kepalaku berkali-kali tanpa ampun bagai orang yang sedang kesetanan.
Seketika rasa sakit itu hilang. Nafasku yang tersengal berangsur normal kembali. Dengan mata terpejam kuletakkan kepalaku diatas meja kerja sambil kurasakan udara di sekitar.
Hening kembali.
Dengan tubuh yang lemas aku mencoba untuk mengosongkan pikiran berharap aku dapat terlelap dan bisa melewati malam ini. Menit demi menit berlalu rasa kantuk pun mulai menghinggapi diriku. Aku berharap ada bunga tidur yang indah yang dapat menemaniku hingga esok pagi.
Tapi bukan itu yang terjadi. Kudengar bisikan lembut dari kejauhan. Kuangkat kepalaku memperhatikan sekitar mencoba mencari asal bisikan tersebut. Lalu kusadari itu bukan bisikan luar tetapi dari dalam kepalaku. Jauh dari dalam entah dimana asalnya. Bisikan berubah menjadi dengungan nyaring. Kepalaku berdenyut berulang kali semakin kencang. Leherkupun ikut berdenyut. Tak pernah kurasakan ini sebelumnya.
Saat kusadari ada kilauan cahaya terpantul pada sebuah benda di atas kasur, denyut itu mereda. Kutatap benda tersebut dengan teliti, ternyata itu adalah pisau yang hendak kugunakan untuk mengupas apel tadi sore. Kemudian mataku bergerak menatap apel yang tergeletak di sampingnya. Semakin lama warnanya semakin nyata dalam gelap. Merah merekah dan bercahaya.
“Haruskah aku memakan apel ini?”, pikirku dalam hati.
Aku beranjak dari depan meja kerja untuk menjangkaunya. Saat badanku sudah berdiri tegak, tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Dengungan nyaring memekakkan telingaku. Rasa yang sebelumnya hinggap kembali lagi. Denyut itu kembali menyerang kepala dan leherku. Jauh lebih kuat dari sebelumnya. Kuhantamkan kepala dengan kedua tanganku, tapi denyut itu tak kunjung pergi.
Sekelebat cahaya berkilau. Kuambil pisau yang sedang bercengkerama dengan sang apel merah dengan tangan kananku dan kugenggam erat gagangnya. Denyut di leherku semakin menjadi-jadi. Lalu dengan ayunan lembut dan ritme yang konstan, kusayat urat nadi leherku berulang kali. Darah menyembur ke segala penjuru tapi tak menghentikanku untuk terus melakukannya lebih kuat dan dalam. Sampai akhirnya kuhentikan.
Denyut itu hilang. Dengungan itu pun memudar. Darah segar membanjiri leherku dan mengalir ke seluruh tubuh. Kehangatan menyelimuti tubuhku.
Ternyata sudah sekian lama tak kurasakan perasaan seindah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H