Mohon tunggu...
Putra Agung Prabowo
Putra Agung Prabowo Mohon Tunggu... -

Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2011

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peran Pendidikan Politik Media bagi Pemilih Pemula

10 Mei 2014   02:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:40 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilih pemula dapat diartikan sebagai kelompok yang berusia 17 tahun ke atas dan baru pertama kali menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu 2014. Umumnya, mereka sedang menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Secara lengkap pemilih pemula Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 dalam Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal 20 adalah warga Indonesia yang pada hari pemilihan atau pemungutan suara adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berusia 17 tahun dan atau lebih atau sudah/pernah kawin yang mempunyai hak pilih, dan sebelumnya belum termasuk pemilih karena ketentuan Undang-Undang Pemilu.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, tidak kurang dari 15-20 persen pemilih pada Pemilu 2014 adalah pemilih pemula. BPS (sensus penduduk 2010) penduduk usia produktif 26 persen atau 64 juta penduduk usia 15-19 tahun berjumlah 20.871.086 jiwa. Usia 20-24 tahun berjumlah 19.878.417 orang. Jumlah total pemilih pemula 40.749.503 orang. Sedangkan Data Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) menunjukkan, data pemilih berumur 10 – 20 tahun berjumlah 46 juta, dan data pemilih berumur 20 – 30 tahun berjumlah 14 juta.

Keberadaan pemilih pemula acap menjadi incaran bagi partai politik untuk mendulang suara. Para pemilih pemula ini umumnya belum terinformasikan serta tidak memiliki pendidikan politik memadai. Dengan asumsi ini partai politik berupaya memengaruhi pilihan politik pemilih pemula melalui berbagai upaya. Salah satu upaya yang dilakukan partai politik guna mempengaruhi pemilih pemula ini adalah melalui media massa.

Peran media massa untuk kepentingan politik sudah lama terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah pada tahun 1998, dimana media massa begitu gencarnya memperlihatkan kegagalan rezim Soeharto dalam membangun Indonesia selama 32 tahun terakhir. Akibatnya dari hal tersebut, media massa tidak lagi menjadi otoritas pemerintah yang kala itu dibungkam oleh rezim orde baru dan setelahnya media massa kini bisa menentukan sikapnya sendiri secara bebas namun tetap harus bertanggung jawab.

Media massa yang seharusnya bersifat bebas dan bertanggung jawab kini kian kehilangan arah dalam era percaturan politik pemilu 2014. Lumrah memang, namun hal ini tentu patut diwaspadai oleh banyak pihak, karena media massa merupakan salah satu penggiring opini publik yang sangat potensial. Tidak seharusnya media condong ke salah satu partai atau orang tertentu guna mendapatkan kursi dewan atau presiden untuk pemilu tahun ini. Terlebih lagi apabila media massa mampu menjadi acuan bagi pemilih pemula dalam menentukan pilhannya di pemilu nanti, dampaknya akan sangat krusial kedepannya.

Belajar pada negeri Paman Sam, Amerika Serikat, saat pemilihan presiden antara Senator John F. Kennedy dan Richard M. Nixon merupakan contoh dimana media massa memiliki peran penting dalam penentuan opini publik. Kala itu publik mengakui secara agregat bahwa Richard M. Nixon lebih unggul dibandingkan John F. Kennedy saat berdebat melalui radio, namun ketika debat berlangsung melalui media televisi hal ini 180 derajat berbeda hasilnya. Pada saat itu, John F. Kennedy mengenakan make up dan tampil prima, sedangkan Richard M. Nixon terlihat pucat, tegang dan berkeringat ketika menjawab pertanyaan yang diajukan oleh moderator sehingga seolah-olah ia tidak yakin dengan apa yang ia katakan. Pada akhirnya, John F. Kennedy keluar sebagai pemenang dengan selisih suara tipis pada popular vote. Ia meraih 34.220.984 popular vote (49,7 persen), sedangkan rivalnya Nixon memperoleh 34.108.157 popular vote (49,6 persen). Sementara pada tingkat electoral vote, Kennedy jauh meninggalkan Nixon dengan perolehan 303 suara sedangkan lawannya hanya mendapat 219 suara.

Begitu besar peran media massa dalam pemilu sehingga kadang apa yang terprediksi menjadi suatu hal yang bias dan tidak diketahui hasilnya. Sama halnya dengan yang terjadi di Indonesia. Banyak sekali politisi di negeri ini yang menggunakan jasa media massa untuk meliput “hal-hal baik” yang mereka lakukan. Padahal ini merupakan suatu kegiatan yang sudah direncanakan dengan matang agar publik dapat percaya kepada salah satu calon yang memang dicitrakan lebih baik daripada calon yang lainnya. Pengaruhnya sangat besar apabila melihat pada pemilih muda yang ada di pedesaan yang notabene tidak tersentuh media lainnya selain televisi. Mereka selalu mempersepsikan semua yang ada dalam pemberitaan di televisi merupakan hal yang benar-benar terjadi, padahal sebenarnya yang terjadi adalah pencitraan politik semata.

Undang-undang yang mengatur tentang kampanye politik melalui media massa di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dalam ayat (1) disebutkan, “Media eletronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu untuk menyampaikan temadan materi kampanye pemilu”. Sedangkan ayat (2) berbunyi, “Media eletronik dan media cetak wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu untuk memasang iklan pemilu dalam rangka kampanye”. Sedangkan yang ditemui pada kampanye tahun ini, ada beberapa calon presiden yang notabene memiliki stasiun televisi, dalam hal ini iklan yang mereka buat, tak ada calon lain yang bisa memasukkan iklan politiknya dalam stasiun televisi yang dimiliki politisi terkait. Tentu hal ini merupakan penyelewengan undang-undang di atas. Dalam suatu acara televisi di channel tertentu ditemukan lagi bahwa salah satu calon yang mempunyai media tersebut, mengiklankan kampanyenya sangat lama disela-sela acara televisi yang tengah berlangsung. Adakalanya Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) harus sigap dalam mengatasi hal ini.

Selain itu, beberapa waktu yang lalu, sejumlah partai politik (parpol) sudah menayangkan iklan politik di berbagai media massa lokal maupun nasional. Iklan politik tersebut sudah mirip dengan kampanye melalui media massa cetak dan elektronik, padahal parpol belum diperbolehkan melakukan kampanye melalui media massa. Karena itu, task force Bawaslu-KPU-KPI mengambil langkah tegas dan menyatakan larangan untuk berkampanye dalam bentuk apapun di media massa. Waktu yang diperbolehkan bagi parpol untuk berkampanye di media massa menurut Undang Undang Pemilu dan Peraturan KPU adalah 21 hari sebelum masa tenang, tepatnya tanggal 16 Maret 2014 hingga 5 Maret 2014 yang lalu, namun yang terjadi di lapangan terjadi jauh berbeda dari estimasi di atas. Lain halnya lagi dengan “pemberitaan” salah satu politisi yang cenderung berlebihan dalam melakukan kampanye politik di media massa maupun elektronik melalui program kerjanya sebagai gubernur di ibukota. Adakala pemberitaan yang ada terlalu sering, bahkan jauh sebelum tanggal kampanye politik di atas ditentukan oleh Bawaslu. Tentu hal ini merupakan salah satu kampanye tersembunyi yang mempunyai misi menaikkan bargaining position calon tersebut beserta partainya dalam pemilu tahun ini. Bawaslu harusnya mengetahui hal ini dan sebelumnya harus lebih mendetailkan peraturan yang dibuatnya.

Sebagai evaluasi kedepan, Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 harus diamandemen terlebih dahulu sehingga tidak banyak pihak yang dirugikan dan diuntungkan dalam pemilu nanti. Adakalanya, banyak politisi yang melakukan kampanye terselubung dan tersembunyi melalui media yang mungkin mereka sewa untuk melakukan pencitraan terhadap politisi atau partai politik tertentu. Hal ini akan sangat mengkhawatirkan jika politisi yang tidak baik dipilih rakyat karena dicitrakan baik dan politisi yang baik malah kehilangan pamor karena tidak mempunyai media untuk membagikan pandangan politiknya melalui media, terlebih lagi jika hal ini dilakukan oleh pemilih pemula yang notabene belum mempunyai pandangan politik yang cukup matang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun