Mohon tunggu...
Putra Agung Prabowo
Putra Agung Prabowo Mohon Tunggu... -

Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor 2011

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kenaikan Harga BBM: Manifesto Kebijakan Politik Tak Pandang Bulu

9 November 2014   00:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:17 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahan bakar minyak (BBM) telah menjadi perbincangan hangat bangsa Indonesia beberapa pekan terakhir. Pasalnya, pemerintahan yang baru telah membuat wacana kenaikan harga dasar BBM pada tahun 2015 nanti. Jika meninjau kembali pada pemerintahan sebelumnya, kenaikan BBM di Indonesia telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan mulai dari harga dasar BBM sebesar Rp2.000 menjadi Rp4.500 lalu dari Rp4.500 menjadi Rp6.500 dan yang terbaru dari Rp6.500 menjadi Rp10.000 pada tahun mendatang.

Masalah BBM memang telah menjadi polemik sejak lama bagi pemerintah Indonesia. Pada kurun waktu 2004-2009, harga bensin di Indonesia berkisar Rp1.800 per liter, harga ini merupakan harga BBM termurah di dunia saat itu. Pada tahun itu pula, subsidi BBM melonjak tinggi hingga Rp 70 triliun dan defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) pada tahun 2004 membengkak dari Rp 26,3 triliun menjadi Rp 38,1 triliun atau meningkat sebesar Rp 11,8 triliun.

Mau tak mau pemerintah kala itu harus menaikkan harga BBM karena beban negara yang teramat sangat besar. Perubahan yang dilakukan memang serba sulit karena sejak lama masyarakat Indonesia sudah terlalu lama dimanjakan dengan minyak murah. Dalam era Orde Baru, terutama saat OPEC (Organization of Oil Producing Countries) berjaya di era 70-an, produksi minyak Indonesia melimpah ruah, sempat mencapai 1,7 juta barel per hari, dan sebagian besar menjadi produk ekspor karena konsumsi dalam negeri tidak banyak. Akibatnya, pemerintah kebanjiran petrodollar, APBN tumbuh subur, dan rakyat berlimpah minyak murah yang disubsidi dengan lapang dada oleh pemerintah. Situasi ini mulai berubah pada tahun 2004, dan setelahnya. Harga minyak terus naik, dari kisaran USD 21 per barel mencapai USD 40 per barel pada tahun 2004, dan terus meningkat pada angka USD 60 per barel pada awal tahun 2005. Sementara itu, produksi minyak Indonesia menurun menjadi 1,18 juta barel per hari, sedangkan konsumsi dalam negeri melonjak drastis karena semakin banyak orang yang mempunyai mobil dan motor.

Hingga saat ini, Indonesia masih membeli minyak lebih banyak daripada yang dijual, dan dalam beberapa tahun terakhir Indonesia sudah menjadi negara net pengimpor minyak. Impor minyak yang dilakukan oleh Indonesia dengan cara membelinya dengan dolar Amerika membuat nilai tukar Rupiah terhadar dolar Amerika semakin tertekan, sementara itu, karena minyak yang disubsidi pemerintah Indonesia harganya lebih murah dari harga dunia, membuat mafia migas berpesta pora menjual minyak Indonesia ke negara lain dengan berbagai cara.

Tak hanya itu, selama ini subsidi BBM yang diperuntukkan untuk menolong rakyat justru salah alamat. Menurut sebuah lembaga kajian terkemuka, rumah tangga miskin didefinisikan sebagai rumah tangga yang mempunyai pengeluaran per bulan Rp175.000 atau kurang. Sehingga sudah menjadi ketentuan bahwa mereka merupakan golongan yang berpenghasilan kecil sehingga tidak terpengaruh dengan adanya kenaikan harga BBM ini. Mereka hanya punya uang untuk makan jikapun berlebih sisanya adalah untuk biaya sekolah anak-anaknya. Karena hal di atas, sebagian besar subsidi BBM dinikmati oleh kalangan menengah ke atas yang tidak berhak menerimanya sementara golongan rakyat miskin dan setengah miskin yang jauh lebih membutuhkannya hanya gigit jari.

Untuk itulah kenaikan harga BBM merupakan opsi terbaik yang bisa dilakukan oleh pemerintah saat ini. Walaupun tentu kedepannya akan banyak implikasi dari kebijakan ini baik secara positif maupun negatif bagi bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam kaitannya dengan bidang politik, kebijakan kenaikan BBM sangat bersebrangan dengan haluan partai pendukung presiden terpilih, yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas segalanya. Dalam situasi terburuk, bisa terjadi mosi tidak percaya dari anggota parlemen kepada presiden terpilih. Terlebih dalam kancah politik nasional, Indonesia menghadapi suatu sistem perpolitikan yang baru dimana bagian eksekutif dipegang koalisi partai pemenang pemilu sedangkan bagian legislatif dipegang oleh koalisi partai kalah pemilu. Guncangan politik pasti akan terjadi melihat ketidakstabilan komposisi di atas.

Dalam kaitannya dengan perekonomian nasional, kebijakan kenaikan harga BBM merupakan angin segar untuk pemerintah Indonesia. Pasalnya, dengan kenaikan harga BBM defisit APBN tidak lagi membengkak sehingga banyak dana yang bisa dialihkan untuk pembangunan Indonesia kedepannya. Kenaikan harga BBM ini membuat pergeseran kurva demand BBM di Indonesia dari D1 ke D2. Sesuai dengan teori permintaan, dimana saat harga suatu barang (BBM) meningkat dari Rp6.500 menjadi Rp10.000 maka jumlah barang yang diminta oleh masyarakat akan menurun. Hal ini akan membuat semakin banyak masyarakat Indonesia yang

menggunakan kendaraan bermotor cenderung untuk mengurangi pemakaian BBM sehingga bisa dimungkinkan dengan harga BBM yang tinggi permintaan akan kendaraan bermotor pun akan menurun. Masyarakat akan lebih meminimalkan biaya transportasinya. Implikasi lainnya adalah dengan adanya kenaikan harga BBM ini, pemerintah bisa menganggarkan APBN untuk perbaikan insfrastruktur transportasi di Indonesia sehingga sarana dan prasarana transportasi Indonesia semakin lebih baik. Terlebih dengan adanya perbaikan tersebut, masyarakat akan semakin banyak yang memilih jasa angkutan umum ketimbang menggunakan kendaraan pribadi dimana pemerintah melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara)-nya bisa mendapatkan insentif ekonomi berlebih dan masyarakat pun mendapatkan utilitas yang maksimum.

Selain itu, dalam kaitannya dengan investasi asing di Indonesia, kebijakan kenaikan harga BBM merupakan angin segar bagi perusahaan minyak luar negeri yang sudah lama menamamkan modalnya di bumi pertiwi ini. Seperti Total, Chevron, Shell, British Pretroleum, Petronas dan lain sebagainya akan semakin untung kedepannya karena pihak Pertamian bukan lah perusahaan satu – satunya yang menguasai pasar penjualan BBM di Indonesia. Pertamina tak lagi bisa memonopoli pasar jual beli minyak di Indonesia sehingga dimungkinkan perusahaan ini akan berkurang keuntungannya karena harus berbagi pangsa pasar dengan perusahaan minya asing di Indonesia.

Namun, walaupun kebijakan kenaikan BBM ini bisa mengurangi defisit APBN, yang menguntungkan pemerintah kedepannya, kebijakan ini juga menyisakan duka bagi petani dan nelayan yang ada di Indonesia. Selama ini mereka merupakan pihak yang sangat tergantung akan harga BBM ini. BBM merupakan komponen biaya produksi yang sangat krusial bagi kedua belah pihak tersebut selain biaya benih dan pupuk juga meliputi harga sewa tanah, sewa traktor dan pompa air demikian juga pengolahan hasil panen seperti usaha penggilingan padi dan ongkos angkut atau transportasi.Kenaikan harga BBM akan mengurangi daya beli petani dan nelayan yang merupakan masyarakat kelas bawah akan input – input produksi pertanian lainnya.

1415443139630797689
1415443139630797689
Pada gambar di atas, jelas bahwa kenaikan harga BBM akan mempengaruhi biaya produksi pertanian lainnya yang berujung pada peningkatan biaya produksi oleh petani di Indonesia. Kebijakan ini akan menyengsarakan para petani di Indonesia jika tidak ada insentif bantuan permodalan dari pemerintah. Dengan tidak adanya bantuan permodalan, produk – produk pertanian Indonesia akan mahal di pasar domestik maupun global sehingga daya saing produk pertanian menjadi lemah. Terlebih jika mengacu pada diberlakukannya masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) pada tahun 2015 nanti tentu hal ini akan semakin membuat produk para petani lokal kurang diminati oleh konsumen di Indonesia maupun di lingkup regional ASEAN. Pemerintah Indonesia harus belajar dari Uni Eropa dan Amerika yang memberikan subsidi besar-besaran kepada para petani di negaranya. Dengan bantuan pemerintah pun, akan lebih banyak petani yang tidak meninggalkan lahan pertaniannya karena pertanian sudah dianggap sektor bisnis yang tidak menguntungkan kembali kedepannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun