Di era serba keterbukaan seperti saat ini, di mana setiap perkembangan situasi negeri ini makin mudah dimengerti, dipantau, ataupun disaksikan baik melalui media cetak dan/atau media elektronik sesungguhnya harus disikapi bijak. Tumbuh pesatnya teknologi telah menghapus ruang dan waktu dalam upaya mengembangkan serta menyampaikan idea tau pun gagasan kita. Tentu kita sependapat, di era yang semakin maju seperti sekarang sebuah komunikasi terasa sungguh mudah untuk dilakukan antara beberapa pihak. Jejaring sosial, baik twitter, facebook, ataupun lainnya tak dapat dipandang lagi sebagai suatu media komunikasi sebelah mata. Saya katakan demikian, karena media-media semacam itu telah juga dipergunakan di pemerintahan sebagai jembatan penghubung komunikasi rakyat dengan pemimpinnya. Sebagai contoh, tak sedikit pemimpin di negeri ini (atau boleh dikatakan sebagian besar) telah mempunyai akun-akun pribadi di jejaring social. Mulai dari Presiden Jokowi hingga Bupati/Walikota juga tak ketinggalan. Kalau di Jawa Tengah, ada Mas Ganjar yang kondang sebagai “Gubernur Twitter”, maka di Kota Bandung ada Kang Emil sebagai “Wali Kota Twitter”nya. Yaa..semua apa yang ada dan diciptakan itu sesungguhnya akan dapat bermanfaat bagi perkembangan Indonesia menuju transformasi E-Government.
Para pembaca, jangan disalah artikan bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang ada saat ini akan melulu menuju kearah positif. Ada kalanya kalau kita tak dapat bersikap bijak dalam memanfaatkannya justru membuat kita makin tampak seperti orang yang “keblinger” dan “hilang” kendali. Hal inilah yang tampaknya terlihat dalam hal penyampaian pendapat segelintir orang terhadap penyikapan kebijakan yang dilakukan pemerintahan Jokowi-JK ataupun pemimpin negeri ini sebelum-sebelumnya.
Saya yakin, para pembaca yang membaca artikel saya ini pasti mempunyai salah satu akun jejaring sosial. Facebook atau twitter misalnya. Tak jarang, Anda pasti juga menemukan salah satu pernyataan-pernyataan teman Anda yang terkesan mengkritik pemerintahan tapi dengan cara tidak cerdas. Mengolok-olok Presidennya sendiri tanpa terkesan (maaf) pinter. Jauh memprihatinkan manakala yang pengkritiknya sebenarnya dilihat dari strata pendidikannya adalah merupakan kaum terpelajar/berpendidikan tinggi namun dilihat dari bahasanya bener-bener tak menunjukkan hal yang demikian.
Para Pembaca, sebelumnya perlu dipahamkan bersama bahwa di sini saya berdiri tidak di kubu A (pemerintahan sekarang) ataupun kubu B (mereka yang saya maksud pengkritik tak cerdas). Saya adalah juga suka dan senang mengamati dunia perpolitikan di negeri ini. Kadangkalipun kritikan-kritikan juga saya lontarkan kepada pemerintahan manakala dari pandangan saya apa yang menjadi kebijakan pemerintahan itu salah. Namun para Pembaca, sebelum Anda menyampaikan kritikan-kritikan itu sebaiknya anda pahami dulu permasalahan apa yang mengguncangkan hati Anda, pahami juga kepada siapa tujuan Anda mengkritik dan terakhir pilihlah media yang tepat buat penyampaian kritikan Anda. Mengapa demikian? Pantaslah…bisa saya pastikan latar belakang orang yang mengkritik adalah berangkat dari kegusaran hati dalam menyikapi persoalan negeri ini yang rasanya kurang mendapatkan penanganan yang baik dari pemerintahan yang sekarang. Namun juga tak sedikit, latar belakang mengkritik adalah karena adanya “dendam kusumat” alias “sakit hati” karena hasil Pilpres 2014 lalu.
Tak bisa dipungkiri memang, hasil Pilpres 2014 tak akan mungkin bisa memuaskan semua pihak. Namun tentunya kita juga seiya sekata, bahwa Jokowi-JK yang sekarang menduduki dan diamanahi sebagai presiden dan wakil presiden saat ini adalah juga merupakan produk dari sistem demokrasi yang telah kita pilih bersama. Proses gugatan di Mahkamah Konstitusi saat itupun juga telah tinggal cerita alias usai sehingga sudah sepatutnya lah kita bersatu kembali saling menyumbangkan pikiran, ide, gagasan, serta kritikan dan kalau perlu gugatan ataupun aduan bila itu diperlukan. Tapi ingat, semuanya semestinya dilakukan dengan CERDAS. Banyak kita saksikan bersama atau yang update saat inilah di saat harga daging sapi melonjak, ada seseorang katakanlah misalnya namanya A, mengkritik hal ini dengan mengumbar pesimistis, koar-koar lewat facebook dengan mengatakan B, C, D, sampai Z dan ditujukan ke Jokowi dengan bahasa yang sama sekali tak menunjukkan bahasa ketimuran. Ini bukan persoalan pro kritik atau anti kritik namun lebih ke persoalan bagaimana si pengkritik itu sudah cerdas atau belum. Pertama, harus dipahamkan bahwa dalam sistem pemerintahan yang kita anut sekarang tak melulu “biang keladi” atau “sumber masalahnya” atau “eksekutor penyelesai masalah” adalah satu oknum dalam hal ini presiden. Semua jajaran pemerintahan ataupun masyarakat juga perlu bersinergi membantu persoalan ini. Kalaupun tak bisa ikut turun tangan langsung setidaknya janganlah diumbar pesimistis atau justru mengolok-olok Jokowi-JK. Tampaknya ini menunjukkan ketidak cerdasan si pengkritik dalam memahami apa itu definisi “Pemerintahan” yang benar dan tepat. Secara pengertian luas pemerintahan tidak hanya terdiri dari eksekutif saja (dalam hal ini presiden dan wakil presiden) tetapi juga ada lembaga legislatif (DPR dan DPD) serta lembaga keneragaan lainnya. Sama halnya dengan “Pemerintahan Daerah”, terlalu sempit pikiran jika mengartikan bahwa Pemerintah Daerah itu ya Gubernur/Wali Kota/Bupati saja. Ada pula legislatif dan yudikatif di dalamnya. Sebutan Kepala Negara ataupun Kepala Daerah tak serta merta membuat tujuan kritik atas segala persoalan ke mereka. Tidak salah memang, namun kurang cerdas mengingat pemerintahan negeri ini tidak sentralistis dan tidak dibangun dengan otoriter atau bahkan totaliter. Ada otonomi daerah juga di negeri ini. Dan jikalau ada tata kelola kenegaraan yang menyimpang dari perundang-undangan boleh kok kita mengajukan judicial review ke ranah yudikatif. Yaa..karena negara ini berbentuk republik dan hukum adalah langkah yang dapat kita ambil untuk penyelesaiannya.
Para Pembaca, kembali ke persoalan penyikapan munculnya para pengkritik tak cerdas seperti yang saya kemukakan di awal. Kalau boleh, sebenarnya saya ingin menyarankan saja kepada mereka. Pertama, sucikanlah niat Anda sebelum mengkritik. Dalam hal ini latar belakang Anda mengkritik pemerintah (dalam hal ini langsung mengarah ke Jokowi) lebih karena “dendam kusumat” atas hasil Pilpres 2014 atau Pilkada DKI 2012 lalu ataukah murni sebagai partisipasi sebagai warga negara yang baik di negeri demokrasi ini. Kedua, daripada Anda koar-koar di facebook lah, twitter lah, atau apalah sungguhlah lebih saya sarankan agar Anda menulis surat pengaduan/kritik langsung ke tepat sasaran. Tidak semua langsung ke Jokowi, terkadang Anda juga perlu menunjukkan kecerdasan Anda juga lah..Sampaikan ke pemangku jabatan langsung atas masalah yang Anda persoalkan biar diterima langsung dan agar cepat penanganan. Tak salah sebenarnya kalau Anda langsung ke “Jokowi” tapi sebaiknya coba dulu ke pemerintah terdekat atau penanggung jawab langsung. Sebagai contoh, gak usah yang besar-besar, contoh sederhana saja, misalkan Anda dihadapkan pada urusan pungli saat pengurusan pajak motor atau mungkin tilang yang “mengada2”. Saat dihadapkan pada kondisi itu sebagai pengkritik yang cerdas harusnya Anda tak diam diri atau justru merengek-rengek di depan polisi biar gak di tilang, yang Anda lakukan harusnya protes dengan tegas, sampaikan aduan Anda ke pihak penanggungjawab terkait. Yaa..hal ini pernah juga saya alami. Tak puas atas perlakuan dan pelayanan, nota protes pernah saya layangkan ke Propam dan Kasatlantas Polres Karanganyar serta pernah juga ke Dirlantas Polda Jawa Timur. Jangan hanya suka dan berani berkritik pedas lewat facebook ataupun lainnya atas persoalan besar, sedangkan di sisi lain mempunyai keberanian nol besar saat dihadapkan persoalan yang sederhana. Yaa…jangan menjadi jiwa pengecut dan pribadi yang hanya suka OMDO alias omong doank di jejaring sosial pribadi Anda. Belum tentu pula postingan Anda dilihat pemangku jabatan terkait. Sebenarnya bagi yang berlatar pendidikan sekolah, kita setidaknya sudah diperkenalkan dengan “dunia pemerintahan” siswa ataupun mahasiswa. Sebagai contoh, kalau di perguruan tinggi kita dikenalkan dengan adanya berbagai macam organisasi, katakanlah BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) sebagai pemegang eksekutif dan DEMA (Dewan Mahasiswa) atau semacamnya sebagai legislatif merangkap yudikatif atau semacamnya. Sekedar share pengalaman, sebenarnya Anda yang mempunya latar belakang di dua organisasi kampus tersebut atau setidaknya pernah jadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi maka keberadaan mereka itu juga mengandung maksud. Pernah kan Anda tak puas atas kebijakan BEM atau DEMA di kampus Anda? Tentu ada yang pernah merasakan ketidakpuasan bukan? Lalu langkah missal tidak puas dan Anda ingin menyampaikan kritik bagaimana? Kalau Anda hanya diam membisu seribu kata tapi “grusak grusuk” di belakang “layar” tampaknya jiwa pengkritik tak cerdas memang sudah menjadi dan tertanam pada diri Anda sejak saat itu. Sekedar share, pernah suatu ketika saya tak puas akan suatu hal yang menyangkut lembaga kemahasiswaan (dalam hal ini, BEM, DEMA) di kampus tempat saya menimba ilmu. Lalu apa yang saya lakukan? Maaf, saya bukanlah orang yang masuk dalam kelompok pengkritik tak cerdas seperti tulisan saya di atas. Saya buat surat aspirasi, baik melalui surat tertulis dalam lembaran kertas, maupun surat elektronik kepada pemangku kebijakan lembaga terkait. Bahkan ketika aspirasi serasa tak bersambut, sempat pada suatu ketika saya resmi melayangkan gugatan terhada pimpinan lembaga BEM Fakultas saya saat itu yang selanjutnya dipertemukan dalam sidang perkara. Pernah pula dengan melihat hal yang sama, dalam artian melihat kebijakan yang tidak pas dan sesuai menurut pandangan saya, hal serupa berupa kritik saya sampaikan terhadap KPU penyelenggara pemilihan raya kampus dan sebuah biro di kampus tercinta saya, hingga pada akhirnya sampai pula lah kepada pimpinan universitas. Para pembaca, ini bukan soal unjuk gigi yang saya tekankan, namun lebih penting dari itu yakni bagaimana langkah bijak yang harus kita tempuh manakala tersaji sebuah ketidaksesuaian penyelenggaraan kebijakan di sekitar kita. Hentikan “omongan ngalor ngidul” Anda di jejaring sosial perihal keritikan tak cerdas Anda sebelum Anda mendahului dengan mengkritik dan menyampaikan saran lewat media yang cerdas. Anda pasti “melek” informasi kok, berbagai media dan ruang pengaduan sudah tersediakan. Sudahkan Anda memanfaatkannya dengan baik?
Para pembaca, di tengah masyarakat tentu tak bisa dipungkiri bahwa seringkali kita menemukan hal atau kebijakan dari pemangku tugas pemerintahan atau lembaga penyelenggara kebijakan tertentu yang bagi kita bernilai mengecewakan. Contoh sederhana saja, misal E-KTP yang tidak jadi-jadi, ulah oknum polisi lalu lintas nakal, plat nomor yang nggak jadi-jadi, sampai persoalan pungli pajak dan sebagainya. Sebagai orang yang suka “ngelantur” atau sering mencela atau mengolok2 pemerintahan di medsos, pernahkan Anda berbuat partisipasi kecil saja dengan menyampaikan surat pengaduan yang TEPAT sasaran? Yaa..ini merupakan langkah kecil yang bisa kita lakukan. Jangan menjawab dengan pesimistis sebelum Anda menyalurkan aspirasi dan aduan Anda melalui saluran yang TEPAT. Anda perlu mencobanya dahulu, setidaknya hal serupa juga penulis pernah lakukan. Dan sejauh ini, respon bersahabatpun saya dapatkan. Sebagai contoh, menghadapi polisi lalu lintas yang nakal, saya tindak lanjuti dengan mengirimkan surat pengaduan ke bagian propam polres terkait, menghadapi plat nomor yang nggak jadi-jadi, saya tindak lanjuti kirim surat pengaduan ke Direktur Lalu Lintas Polda, soal pungli pajak kendaraan atas TNKB, saya kirimkan surat pengaduan ke Kasatlantas Polres, soal E-KTP yang nggak jadi-jadi, saya kirimkan pengaduan ke Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri. Alhamdulillah rasanya, semua terproses dengan baik. Dari E-kTP yang nggak jadi, dan sekarang sudah di tangan. Dari plat nomor yang setahun lebih nggak jadi-jadi tapi dalam waktu semalem setelah pengaduan dilayangkan, esoknya plat nomor diantarkan ke rumah, hingga praktik pungli pengambilan plat nomor Rp 2.000,00 yang sudah entah berapa lama bersemayam di SAMSAT daerah saya dan sekarang bersih. Yaa…sekecil apapun apa yang kita lakukan insyaALLAH bermanfaat bagi semua. Lalu, sekarang masih hobi kah Anda menyalurkan atau koar-koar nggak jelas terkait pemerintahan (entah itu terkait presiden Jokowi, hingga jajarannya) melalui medsos sebelum mencoba saluran resmi pengaduan pemerintah?
Atau…justru Anda malah tersinggung dengan tulisan saya ini? Mulailah Anda bercermin pada diri Anda sendiri. Peran seperti apakah yang sudah Anda lakukan untuk mengubah wajah pemerintahan saat ini? Atau justru karena “dendam kusumat” pasca pilpres 2014 sudah mendarah daging pada Anda sehingga tak rela Jokowi-JK memimpin negeri ini? Ah…sudah lah..Mudah saja, kalaulah Anda berada dalam kelompok demikian, maka dipersilahkan untuk pindah kewarganegaraan saja. Yaa…tak ada yang menghalangi Anda.
Terakhir….Mari bersatu padu. Saling bergandengan tangan. Jalankan peran kita masing-masing dengan baik..sumbangkan pemikiran kita secara CERDAS..Saling bersinergi, demi kemajuan bangsa. INDONESIA JAYA.
Arikel terkait :
Share Pengalaman : Mencari Keadilan Perkara Tilang