[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi kompasiana / (kompas.com)"][/caption]
Korupsi adalah musuh terbesar bangsa ini, karena korupsi tidak saja menciptakan ketidakadilan dan kebodohan, tetapi juga menggerogoti kekuatan terbesar bangsa ini yaitu ikatan yang kuat antar rakyat dan militernya.
Ketika bangsa ini tengah berjuang keras bertempur melawan korupsi yang telah menjadi penyakit kronis dan secara pelan-pelan membunuh jutaan anak negeri, namun ternyata masih banyak badan-badan dan instansi pemerintahan yang seolah tak tersentuh tangan-tangan berpedang hukum. Banyak skandal korupsi yang berhasil diungkap di negeri ini, tetapi masih terdapat departemen ataupun kementerian yang masih menjadikan korupsi dan anak-anaknya (suap, gratifikasi, permainan kebijakan dan aturan) sebagai “gaya hidup” untuk menimbun kekayaan pribadi oknum-oknumnya. Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghunuskan pedangnya tinggi-tinggi dan siap untuk menebas musuh-musuh negara yang melakukan korupsi, masih ada lembaga-lembaga yang tak tersentuh oleh tebasan KPK, seperti misalnya militer di negeri ini.
Dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat adalah slogan kemanunggalan TNI dan rakyat yang menjadikan TNI “berbeda” dengan militer di negara-negara lain.
Kekuatan TNI bukanlah pada alat dan perlengkapannya, namun lebih kepada manusia/SDM yang ada, bukan hanya karena kecerdasannya yang menjaminprofesionalisme TNI, tetapi juga karena “karakter” Keindonesiaan yang tertanam kuat dalam doktrin setiap prajurit. Kelebihan prajurit TNI tersebut menjadi kekuatan yang dahsyat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang tak dapat dihadapi dengan perlengkapan dan peralatan secanggih apapun. Ketika saya bertugas di luar negeri, salah seorang rekan militer Asia dengan bangganya mempertontonkan perlengkapannya yang super canggih hingga saya menyebutnya (dengan gurauan) “military robot”. Teman saya itu bertanya/menyindir, (sambil melirik perlengkapan yang saya pakai), “what is the most lethal weapon, you`ve got?” saya dengan tenang menjawab sindirannya, “Well, we may not the best equipped soldier in our region, but we are the most experienced warrior through history in the region, since we fought the Dutch, Great Britain, Japan, Portuguese, and all the local rebellions inside the country. Through history, We`ve learned that our most lethal weapon is our bond with our own people.” (Kami mungkin bukan prajurit yang memperoleh perlengkapan terbaik di kawasan ini, tetapi kami adalah pejuang yang paling berpengalaman di kawasan, karena kami pernah bertempur melawan, Belanda, Inggris, Jepang, Portugis dan pemberontakan-pemberontakan yang ada di negara ini. Dari sejarah kami belajar, kekuatan kita terbesar terletak pada ikatan yang kuat/kemanunggalan antaraTNI dan rakyat). Saat itu saya menganggap jawaban saya cukup telak dan “menyentuh” jati diri setiap prajurit dimanapun ia berada (terbukti ia diam dan mungkin menyetujui jawaban saya), bahwa mungkin kita diperlengkapi senjata-senjata canggih untuk membunuh, tetapi sejatinya tugas prajurit bukan untuk membunuh melainkan to safe lives.
Kemanunggalan TNI dan rakyat adalah kunci kekuatan pertahanan bangsa ini, sehingga ketika rakyat menjadikan korupsi sebagai musuh terbesarnya, maka sebagai “mitra” sejatinya sudah selayaknya TNI bersama rakyat bahu membahu memberantasnya. Rakyat tentu tidak berharap lebih besar dari kemampuan yang dimiliki TNI untuk melawan korupsi “di luar sana”, melainkan rakyat hanya berharap TNI mampu “membersihkan” tubuhnya sendiri dari dari kanker korupsi. Perjalanan pengalaman saya sebagai militer, banyak modus yang dapat dilakukan untuk menggelontorkan dana secara besar-besaran baik yang merupakan kegiatan resmi juga yang fiktif. Misalnya, ada kegiatan di luar program (kegiatan atas inisiatif pimpinan) yang “seolah-olah” ada dan dilaksanakan, dan didanai dengan dana yang tidak sedikit walaupun kenyataan tidak pernah ada. Triknya cukup sederhana, lengkapi saja dengan perencanaan kegiatan dan rencana anggaran, ditutup dengan laporan pelaksanaan kegiatan. Jika sifatnya kegiatannya resmi, maka modus yang berlaku adalah penggelembungan dana dan setelah dana turun, “sunat-menyunat” anggaran pun dilakukan di bawah tangan. Permainan ini terbilang masih dalam skala kecil, pada skala yang lebih besar dilakukan dengan melibatkan rekanan-rekanan hitam yang merupakan pemasok perlengkapan militer yang berbiaya milyaran rupiah yang pelaksanaan tendernya pun hanya “akal-akalan”. Bagaimana tidak? Rekanan-rekanan hitam tersebut lah yang menentukan spesifikasi alat yang akan dibeli (dimana seharusnya TNI yang melakukannya), sehingga tentu saja pada saat tender dilakukan, rekanan hitam lah yang akan memenangkannya.
Kenapa Sulit Diungkap?
Jawabannya sederhana sekali sebenarnya. Struktur organisasi TNI yang menuntut loyalitas mati terhadap pimpinannya menjadikan penyakit korupsi di tubuh TNI sulit diberantas ketika pimpinan ataupun pejabat berwenang bertindak sebagai “orang yang mengetahui” kegiatan nakal ini. Atau bahkan pejabat yang berwenang tersebut bertindak sebagai rekan, sahabat, saudara atau bahkan “pencipta” rekanan-rekanan hitam. Para pimpinan ini tentu bukan orang sembarangan. Mereka rata-rata adalah orang yang dekat dengan kekuasaan. Kedekatan dengan kekuasaan ini menjadikan para pimpinan tersebut “disegani” di angkatan masing-masing. Misalnya, para mantan ADC Presiden, dengan bermodalkan kata-kata “Atas petunjuk Bapak Presiden” maka dijamin, tak seorangpun yang berani menghalanginya. Ilustrasi yang saya coba angkat misalnya dalam tubuh Angkatan Udara yang sarat dengan asset-asset bernilai puluhan trilyun rupiah yang membuat Angkatan Udara sangat rentan dengan kasus korupsi berskala besar jika dibandingkan dengan kasus simulator SIM POLRI yang nilainya “hanya” milyaran rupiah. Para pemegang jabatan strategis TNI AU seperti Kasau, Asisten-asisten Kasau dan Pangkoops AU, adalah pejabat-pejabat yang diyakini “mengetahui” pergerakan para rekanan-rekanan hitam ini (jika tidak dikatakan sebagai mitra dari rekanan hitam). Sebagaimana layaknya berbagai modus korupsi yang terjadi, selalu dilakukan secara sistematis dan terstruktur dengan melibatkan pejabat-pejabat lainnya seperti misalnya Kadispam AU untuk mengamankan “kegiatan”, Danpom AU untuk mencari “celah” legalitas kebijakan dan pejabat lain yang memiliki hubungan darah dengan keluarga Cikeas seperti Gubernur AAU sekarang misalnya. Lalu, tentu diperlukan peran Pangkoops AU sebagai pejabat berwenang penyelenggara operasi udara di wilayah kedaulatan NKRI yang bertanggung jawab dalam operasional dan pembinaan manusia dan pemeliharaan alat yang sangat tinggi nilainya.Pangkoops AU yang juga kebetulan merupakan mantan ADC Presiden tentu akan bekerja sama dengan rekanan hitam untuk menentukan spesifikasi alat yang “layak” dibeli oleh negara. Agar layak dan pantas untuk memperoleh keuntungan besar dari pembelian tersebut maka spesifikasinya pun “disesuaikan”. Jika sudah seperti ini alurnya, pimpinan Angkatan Udara hanya perlu menyetujui dan mengajukannya ke DPR melalui Kemenhan, dan “menutup mata” saat menandatanganinya.
Jujur, sebagai salah seorang yang merasa bersalah karena merupakan bagian dari system ini, sebagian perwira mungkin menganggap saya sebagai pengkhianat dengan menuliskan artikel ini, tetapi hati nurani saya tergerak setelah melihat rekan-rekan saya mulai gugur berjatuhan akibat ketidaklayakkan pesawat maupun buruknya system pemeliharaan yang penuh dengan prilaku korupsi. Oleh karenanya, hal ini harus segera dihentikan sesegera mungkin sebelum jatuh korban berikutnya yang tak ternilai harganya. Korupsi adalah musuh bersama yang hukumnya wajib diperangi bersama-sama. TNI sebagai bagian dari rakyat memiliki kewajiban untuk memperbaiki system kotor yang terjadi selama ini.
Air Force,
Fly, Fight and Win!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H