Mohon tunggu...
Putri Apriani
Putri Apriani Mohon Tunggu... Freelancer - Fiksianer yang Hobi Makan

@poetri_apriani | poetriapriani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sisir

12 Mei 2016   13:47 Diperbarui: 12 Mei 2016   14:13 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rambutnya panjang, rambutnya indah, rambutnya berkilau bak model iklan shampo. Ah, ia memang pernah dikontrak sebagai bintang iklan sebuah shampo yang cukup terkenal.

Namanya Jenny, usianya seperempat abad. Rambut adalah mahkota, itu adalah benar, lihat saja rambut Jenny, kalian terpukau bukan? Rambutnya tak pernah berganti model, hanya panjang, hitam dan lurus, rambutnya tak pernah diikat, selalu tergerai memesona. Ah, tangan nakal lelaki seringkali tak kuat ingin menyentuhnya. Jenny, nyatanya tak hanya rambutnya yang indah, lihat tatapan matanya yang teduh, lihat bibirnya ketika ia berbicara, bibirnya yang merah jambu bahkan selalu bertutur manis.

Ada yang unik dari sosoknya. Ia suka mengoleksi barang yang berkaitan erat dengan rambut. Kalian tahu kan itu apa? Sisir! Ya, ratusan sisir menghiasi meja riasnya. Berbagai jenis warna dan bentuk yang unik membuat siapa yang melihatnya berteriak, "lucunyaaa.." dan tentunya ingin memilikinya.

Namun beberapa bulan belakangan Jenny mulai tak suka mengoleksi sisir, bukan karena sudah tak menemukan lagi bentuk sisir yang lucu, bukan pula karena tak ada lagi wadah yang mau menyimpan sekelompok sisir itu.

Sisir-sisir cantik tersebut kini jadi milik adiknya, yang juga berambut panjang. “Ambillah, aku sudah tak butuh benda ini lagi.”

Jenny menghadapkan wajahnya pada sebuah cermin. Setahun lalu dokter memvonisnya menderita kanker otak stadium 3, bahkan mungkin usianya tinggal menunggu waktu. Wajahnya yang dulu berseri, kini tampak pucat. Rambutnya yang selalu ia banggakan, kini semakin tipis, dari hari ke hari rambutnya mengalami kerontokan. Rontok yang sangat parah. Tubuhnya kurus kering. Dari hidungnya sering mengeluarkan darah yang berarti mimisan. Matanya layu, senyumnya getir. Adiknya memeluk erat sambil menangis. Lalu dengan tenang ia mencoba menghentikan tangis adiknya, walau sebenarnya, tangisan di dalam hatinya lebih keras dari itu. “Tak ada yang harus ditangisi, aku baik-baik saja. Rawat baik-baik sisir Kakak ya?”

Semenjak itu Jenny tak pernah membutuhkan sisir lagi, efek radiasi kemoterapi menyebabkan mahkotanya hilang, seperti senyum manisnya yang juga ikut kandas dalam pasir waktu.

@poetri_apriani
Sumber Ilustrasi Gambar

Terinspirasi dari fiksimini yang berjudul SISIR (dokpri)
Terinspirasi dari fiksimini yang berjudul SISIR (dokpri)
Terinspirasi dari fiksimini yang berjudul : SISIR (dokpri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun