Mohon tunggu...
Putri Apriani
Putri Apriani Mohon Tunggu... Freelancer - Fiksianer yang Hobi Makan

@poetri_apriani | poetriapriani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pawang Hujan

17 Oktober 2016   05:20 Diperbarui: 17 Oktober 2016   17:35 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : indonesia.coconuts.co

Beberapa waktu yang lalu para warga berbondong-bondong mendatangi rumahku, air telah membanjiri penjuru kampung, padahal musim hujan belum tiba. Dan aku dianggap sebagai orang yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

Memang belakangan ini, di setiap malam tiba, bunyi petir menggelegar kemudian diikuti dengan suara hujan yang begitu deras, datang tiba-tiba, mengejutkan warga kampung yang tengah terlelap. Suara-suara tersebut, suara yang tak lain berasal dari kamarku sendiri.

Sudah hampir sebulan ini aku tidur di ruang tamu, setelah pertengkaran hebat tempo hari, membawa bantal dan gulingku ikut serta menemani aku meninggalkan kamar.

Lastri istriku, sepertinya teramat kesal dengan permintaanku. Permintaaan yang sederhana menurutku. Padahal secara tidak langsung permintaanku ini mengajarkan dia untuk lebih ikhlas, ikhlas berbagi suami dengan perempuan lain. Aku pun tak gentar menawarkan beberapa pilihan, mulai dari perempuan sederhana yang masih lugu, yang masih dengan mudahnya dibohongi dengan berbagai macam rayuanku, sampai dengan wanita bergincu merah tebal, berpakaian seksi, yang rela sekujur tubuhnya disentuh oleh pria-pria berdompet tebal, yang matanya akan menyala bila melihat berlembar-lembar uang berwarna merah.

Semenjak itu, Lastri yang dikenal lembut dan santun berubah menjadi seorang yang pemarah, ia sering mengeluarkan guntur dan bulir-bulir hujan dari sudut matanya hingga hampir saja menenggelamkan kampung kami -- banjir air mata.

Dan aku akhirnya menyerah. Aku terpaksa beralih profesi, agar warga kampung tidak melakukan lagi unjuk rasa di depan rumahku atau mereka akan melakukan hal yang lebih parah lagi, seperti melucuti pakaianku lalu mengarakku keliling kampung misalnya, atau membakarku hidup-hidup di depan Lastri. Ya, aku beralih profesi dari seorang pembual menjadi seorang pawang hujan. Karena hanya itu satu-satunya cara yang dapat menghentikan tangisan istriku.

 *

@poetri_apriani

Diikutsertakan dalam Event Semesta Aksara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun