Aku menyusuri senja yang tampaknya enggan tersenyum. Senja yang angkuh, pikirku dalam hati. Aku tertatih memegang erat dadaku yang terlanjur sesak. Jika aku tak kuat menahannya, serpihan hati tampak berjatuhan sedikit demi sedikit. Di hijaunya rumput sore ini, serpihan hatiku tercecer bak dedaunan yang pergi tinggalkan rantingnya.
"Adakah yang punya perekat? Tolong aku, hatiku tercecer." Tak ada yang peduli, semua diam sambil memandangku yang tengah kesakitan. Begitu dan seterusnya, kejadian tersebut terulang hingga beberapa kali.
"Aku butuh perekat, kau punya perekat?." Tanyaku pada seseorang lelaki yang sedang sibuk dengan kameranya.
Lelaki tersebut lantas bertanya padaku, "untuk apa?"
"Untuk merekatkan hatiku yang telah patah, aku butuh perekat super kuat, agar hatiku tak lagi retak."
Tanpa berpikir panjang, lelaki itu memberikan sebuah hatinya untukku. Ya sebuah hati, bukan perekat!
"Hei, kau gila? Aku hanya butuh perekat, mengapa kau memberikan hatimu?"
"Kau itu bukan butuh perekat, tapi kau butuh hati yang baru untuk mengobati lukamu. Percayalah kau butuh ini." Jawab lelaki tersebut sambil menyodorkan sebuah hati yang merah pekat.
"Aku pun merasakan hal yang sama."
Aku terdiam, tak dapat berkata. Ya, aku butuh hati yang baru, bukan perekat. Karena perekat hanya penyembuh sementara pada luka yang terlanjur tergores dalam.
Ah andai semudah itu.