Â
Kepada Emak Tina Sindi
Â
Mak, ini balasan suratku untukmu..
Ah, sebenarnya aku malu, mengapa pula engkau yang terlebih dahulu menuliskan sepucuk surat untukku? Entah mengapa ketika membaca surat darimu, mataku berkaca-kaca.
Mak, aku memang bukan terlahir dari rahimmu, bahkan kita baru saja bertemu beberapa bulan yang lalu. Tapi rasanya takdir memang mempertemukan kita di waktu yang tepat. Ketika aku butuh bahu seorang ibu untuk bersandar, engkau dengan ikhlas menopangku, membiarkan aku meminjam bahumu untuk merebahkan bebanku.
Mak, bahkan aku beberapa kali cerita tentang hidupku yang tak banyak diketahui orang lain, tentang cerita hidupku yang aku coba simpan rapat-rapat. Terima kasih ya Mak sudah mau mendengarkan ceritaku, termasuk kegalauanku tentang .. ah Emak pasti tahu jawabannya kan? Sstt.. ini cukup rahasia kita berdua ya?
Mak, eh Mak, kok kita mendadak galau sih? Padahal kita terbiasa menceritakan masalah dengan tawa, membuat masalah menjadi bahan "lawakan", agar tak terlalu larut dalam menghadapinya. Masih ada Allah yang selalu bersama kita ya Mak.
Mak, terima kasih ya sudah mau menerima aku sebagai sahabat sekaligus anakmu, maafkan anakmu yang kurang ajar ini Mak. Senangnya aku punya Emak Tina.
Hah, yasudahlah Mak, ayo kita tertawa lagi, kapan kita makan lagi? Walau aku takut gemuk, tapi nyatanya aku lebih takut bila tak kulineran bersama Emak. Haha, bila muak abaikan kalimat tersebut ya Mak.
Terima kasih atas semuanya Mak, kebaikan yang sudah Emak berikan untuk aku, semoga berbalik menjadi kebaikan untuk Emak. Salam sehat dan bahagia selalu. Semangat fiksi dan semangat kuliner ^^