[caption caption="afremov.com"][/caption]
Pernikahan kami menginjak bulan yang ke delapan, namun entah mengapa hatiku sedikitpun belum tertuju padamu. Dari awal aku sudah katakan, aku benci perjodohan ini, karena aku punya pilihan sendiri, dan dia kini terkatung-katung karena cintanya–aku–telah pergi meninggalkannya.
Tak banyak hari yang kulewatkan bersamamu. Sepulang kerja aku lebih memilih menghabiskan waktuku bersama teman-teman hingga pulang larut malam, ketika kau sudah tertidur di meja makan, dengan berbagai menu kesukaanku. Kamu, ya kamu yang tak pernah lelah mencurahkan cintamu untukku, suamimu.
Pernah, ketika aku sakit, kau begitu sabar merawatku dengan penuh cinta. Dan saat tengah malam aku terbangun, aku menemukanmu tertidur di sampingku.
Hari-hari berikutnya aku mulai bisa melupakan masa laluku, mencoba perlahan-lahan untuk membuka hati untukmu. Ya, rasanya aku mulai mencintaimu. Kini, aku selalu pulang kantor tepat waktu demi bisa berdua denganmu, dengan lahap menghabiskan semua masakanmu. Sementara kau tak hentinya mengucapkan terima kasih dan mencium tanganku.
Hingga pada suatu hari aku merasakan rindu yang begitu dahsyat, aku tengah berada di luar kota pada saat itu, dan bunyi ponselku memecah lamunanku, “dari ibu”, batinku.