[caption caption="http://thethingsilearnedfrom.com/"][/caption]
Aku berteriak. Kau tak mendengarnya. Kaca tebal ini menjadi penghalang sekaligus menyiksaku. Aku bisa melihat segala aktifitasmu setiap saat, hanya saja menyentuhmu aku tak mampu. Kugedor berkali-kali, tetap saja kau tak menengok ke arahku. Kuambil sebuah batu besar guna menghancurkannya, tapi semuanya sia-sia. Ingin rasanya ku memanjatnya, tapi ujung dinding kaca itu sejauh mata memandang. Mana mungkin aku sanggup memanjatnya.
Â
Barangkali tiada yang lebih kokoh daripada dinding ini
: dinding hatiku yang terlanjur dingin
Mungkin kamu telah mencobanya?
Menaklukannya?
Berhasilkah?
Seringkali semuanya berakhir sia-sia
Â
Setelah berlama-lama usahaku tak membuahkan hasil, ide cemerlang kudapat. Aku harus meninggalkanmu sekarang, bukan untuk pergi, tapi untuk menjemputmu dari belahan bumi yang berlawanan. Bukankah bumi itu bulat, Sayang? Jika aku menjauhimu, aku akan menemukanmu dari sisi sebelah sana. Aku percaya itu. Tunggu aku sebentar, Sayang. Aku yakin usahaku kali ini pasti berhasil.
Â
Sayang katamu?
Hei, apakah kamu lupa?
Benar, dulu hatiku ini hanya milikmu
Bukan yang lain
Kemudian tanpa alasan, kamu tinggalkanku
Dengan goresan luka yang masih menganga
Aku sakit
Aku sendiri
Di mana kamu saat itu?
Â
Retak
Aku memungut kepingan hati yang kau pecahkan malam itu
Tertatih akuÂ
Merangkainya kembali menjadi puzzle yang utuh
Tahukah kamu?
Adakah kamu kala itu?
Â