[caption caption="Dokpri"][/caption]
Pukul tiga pagi, si Mbok sudah terbangun, bahkan tengah sibuk menyiapkan segala perlengkapan yang harus dibawa ke pasar, tas jinjing, beberapa lembar karung, dompet yang rata-rata berisi uang receh, juga jaket yang digunakan untuk menghangatkan tubuhnya dari gerimis yang beberapa hari ini sering turun pada tengah malam.
Tuti masih tertidur ketika itu, tapi terkadang kecupan dari si Mbok membangunkannya, dan ia sempatkan mengantar si Mbok hingga depan pintu. Si Mbok memang perempuan tangguh. Tubuhnya yang semakin renta itu tak pernah terlihat menyerah, sedikitpun. Kakinya tetap melangkah sekalipun hawa dingin di luar sana begitu menusuk kulitnya. “Semua demi kamu, Ndhuk. Cuma kamu satu-satunya harta yang Mbok punya.” begitu si Mbok selalu katakan pada Tuti.
*
Tuti membuka lemari, di dalamnya masih tersimpan baju-baju si Mbok yang sudah usang. Rumah itu, rumah yang juga sudah renta namun begitu banyak menyimpan kenangan dengan si Mbok. Entah mengapa Tuti enggan pergi bahkan menjual rumah tersebut dan tinggal di rumah yang lebih layak. Padahal dengan jabatan yang sekarang ia pegang, ia bisa saja membeli rumah serta kendaraan mewah yang ia inginkan. Entah mengapa, Tuti hanya tak ingin mengubur segala kenangannya dengan si Mbok, walau jasad si Mbok telah menetap di pusara, tujuh tahun yang lalu.
**
Minggu ketiga FF 200, terinspirasi dari lagu (kesukaan Ibu saya)
Letto – Sebelum Cahaya