Dean
Sejak pertemuan yang pertama, memang aku akui, Dinar memiliki pesona yang tak biasa. Ia tak cantik seperti wanita lainnya, tapi entahlah, aku seperti tersihir bila melihat matanya, senyumnya. Ah, aku ini lelaki yang tak pandai menggombal ataupun merayu wanita. Aku tak tahu harus bagaimana, harus memulainya dari mana, harus melakukan apa untuk menaklukan hatinya? Apakah Dinar memiliki rasa yang sama denganku? Tidak, aku tidak ingin berpikir begitu. Baiknya buang saja jauh-jauh perasaanku. Bukankah Dinar termasuk orang yang mudah akrab dengan siapa saja? Tapi ia pernah berkata, bahwa ia termasuk orang yang tertutup. Ah, entahlah aku tak tahu. Bagiku Dinar adalah misteri yang begitu aku kagumi.
apakah aku hanya sebuah bayangan bagimu?
mengikuti tanpa kau minta
membiarkan, tanpa peduli
aku nyata bila kau percaya
bukan sekedar maya
aku ada disini
mengasah belati
: bila kau perlukan
bila kau tak inginkan
langsung saja, tusukkan
pada kata-kata yang perlu dirajam
menjelang hari-hari suram
pada malam-malam temaram
*
aku ada
bukan tiada
aku memang bukan sebuah es
yang mampu dinginkan bara apimu
aku hanyalah sebuah cangkir
yang sedianya siap bila kau tuangkan ratusan cerita
Dean meletakkan penanya, melihat kembali baris-baris puisi yang baru saja ia ciptakan. Ia menikmatinya, menikmati puisi tersebut, tanpa perlu Dinar tahu. Mungkin suatu saat, gadis pujaannya perlu tahu. Kapan? Entahlah.
***
Dinar
Dinar membuka lembaran surat yang terselip di bukunya. Surat yang beberapa minggu lalu ia tulis. Surat yang tak pernah ia berikan kepada orang yang semestinya menerima surat tersebut.
Hai Dean, apa kabarmu? Lama tak mendengar kabarmu. Rasanya rindu ya? Kira-kira kau merasakan hal yang sama denganku tidak? Baiklah tak perlu dijawab, simpan dulu jawabanmu. Dengarkan saja aku bercerita, tentangmu tentunya.
Setiap kali kau bercerita padaku, apa kau tahu bagaimana perasaanku? Senangnya luar biasa. Kau sudah percaya padaku, memperbolehkan aku untuk tahu tentang hal-hal pribadi – yang biasa kau simpan sendiri. Bahkan kau bilang padaku, kau ini orang yang sulit untuk bercerita atau percaya pada orang lain. Lebih tepatnya kau ini introvert, ya kau bilang sendiri bahwa kau ini introvert.
Entah sejak kapan aku mulai menyukai pria introvert, tapi yang jelas sedari dulu aku tak suka lelaki yang banyak bicara, apalagi yang selalu saja mengeluarkan jurus berjuta rayuan. Sungguh aku tak suka. Lama-lama aku bisa jengah bila digombali terus menerus.
Sementara kau, kau bilang padaku, kau ini tak bisa menggombal bukan? Ya tak mengapa, justru aku suka dengan hal itu. Ya, kau memiliki hal-hal yang aku suka. Kau berbeda dari kebanyakan lelaki yang aku temui.
Bagiku, cinta itu sebenarnya sederhana, tak perlu banyak membual, cukup rasakan, maka kau akan menemukan cinta yang tulus itu seperti apa. Tak perlu mencari lagi, karena cinta tak kemana-mana, ia ada dihatimu. Namun, yang jadi pertanyaannya, mengapa wanita selalu saja diberikan tugas – yang bagiku cukup berat. Menunggu. Seberapa akuratkah kepastiannya?
Dinar membaca satu per satu kata yang ia tulis, melihat kembali apakah ada kalimat yang salah, kalimat yang mungkin menyinggung hati Dean misalnya. Ia melipat surat tersebut, meletakkannya kembali pada bukunya.
***
Bait-bait rasa bergejolak
Ingin ku usir, namun ia hendak menolak
.
Bait-bait rasa menari-nari
Bahkan bayangmu tak dapat ku hindari
.
Bait-bait rasa
Ada cinta telah tercipta
Pada hatimu yang kini merenda jiwa
Terlihat jelas, walau tak tampak menyapa
.
Bait-bait rasa
Biarlah cinta mencari maknanya sendiri
Karena ia tahu hendak kemana ia akan mengalir
.
Ilustrasi :Dean & DinardanSurat Cinta
25 Februari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H