Etnis Tionghoa telah menjadi bagian dari kebhinekaan Indonesia jauh sebelum bangsa Barat melakukan pelayaran ke Nusantara. Luasnya persebaran mereka tidak serta merta membuatnya tetap menjadi etnis yang homogen. Proses akulturasi selama ratusan tahun berhasil melahirkan karakteristik unik dari orang-orang Tionghoa di Indonesia, khususnya di Kota Padang.Â
Keberadaaan etnik Tionghoa di Kota Padang berkaitan erat dengan fenomena keluarnya mereka dari tanah kelahiran untuk berdagang ke seluruh penjuru dunia sejak berabad-abad silam, dan secara tidak langsung perdagangan ini lah yang menjadi jembatan terjalinnya relasi antara etnis Tionghoa dengan suku Minangkabau di Ranah Minang.
Sejarah
Jika lebih dulu ditarik mundur secara historis, tahun 1966 merupakan tahun yang sulit bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, termasuk di Kota Padang. Ini berlangsung pada era Order Baru, berkaitan dengan dikeluarkannya berbagai peraturan pemerintah yang menyebabkan ruang gerak etnis Tionghoa menjadi terbatas. Salah satunya yakni Inturksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1967 tentang adanya larangan kebudayaan Tionghoa sehingga beberapa perayaan mereka tidak bisa digelar besar-besaran. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pun cenderung bersifat asimilatif dan diskriminatif.Â
Meski demikian, di Kota Padang sendiri situasi ini mulai membaik pada era Reformasi, yang mana tidak luput dari kontribusi masyarakat Minangkabau untuk mau bekerja sama dengan masyarakat Tionghoa dalam menjaga kebudayaan dan tradisi leluhur keduanya agat tidak hilang. Rasa keterbukaan masyarakat lokal di sekitar pemukiman etnis Tionghoa Kota Padang serta dukungan dari pemerintah setempat membuat identitas etnis Tionghoa terjaga dengan baik sampai sekarang.
Hal tersebut menjadi salah satu alasan kenapa kehidupan etnis Tionghoa Kota Padang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Dalam buku berjudul Orang Padang Tionghoa---Dima Bumi Dipijak, Di Sinan Langik Dijunjuang karya Riniwaty Makmur (2018), disebutkan bahwa hingga kini masyarakat Tionghoa di Kota Padang memiliki kekhasan tersendiri dalam konstruksi kehidupan sosial mereka dibandingkan dengan masyarakat Tionghoa di daerah lain.Â
Buku tersebut juga menggambarkan bagaimana masyarakat etnik Tionghoa bisa diterima dengan baik oleh masyarakat Minangkabau, salah satunya karena dua etnik  memiliki kemiripan dalam hal tradisi, gemar berdagang dan merantau misalnya. Selain itu keduanya juga cepat beradaptasi dengan kehidupan lokal dan memiliki kesamaan dalam latar sosial dan budaya. Beberapa hal itu  menjadi dasar dari lahirnya relasi yang baik antar dua etnis budaya tersebut.
Etnis Tionghoa perlahan-lahan mulai terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Padang bersama suku Minangkabau dan suku-suku perantau lainnya seperti Jawa, Batak, Nias, Melayu, Sunda dan Mentawai di Sumatera Barat. Mayoritas masyarakat Tionghoa di kota seluas 695 kilometer persegi itu adalah sebagai pedagang. Mereka banyak bermukim di kawasan Pondok, sebuah kawasan di pesisir pantai yang membelah kawasan kota dengan Gunung Padang.Â
Lokasi ini tepatnya berada di Kelurahan Kampung Pondok, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang. Daerah tersebut kemudian lebih dikenal dengan nama Kampung Pondok yang kini menjadi pecinan di Kota Padang dan menjadi pusat dari aktivitas masyarakat Tionghoa. Mereka kemudian membentuk sebuah identitas lokal baru yang unik dan di kemudian hari memperkaya khasanah kebudayaan Minangkabau. Sejarawan Mardanas Safwan dalam Sejarah Kota Padang, menyebutan bahwa:Â
Hingga kini masyarakat Tionghoa sudah bermukim di Kampung Pondok selama delapan generasi dan jumlahnya telah berkembang menjadi sekitar 20.000 jiwa pada tahun 2021, seperti dilansir dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DUKCAPIL, 2021) Kota Padang.